Senin, 19 Februari 2018

Indahnya Angkasa Raya Dilihat dari Bosscha



Observatorium Bosscha memang tempat paling ideal untuk melihat benda langit. Tak terkecuali, pengamatan tiga fenomena Bulan yang terjadi pada 31 Januari 2018. Supermoon, Blood moon, dan Blue moon yang terakhir terpantau 152 tahun silam, adalah fenomena menakjubkan yang sungguh sayang untuk dilewatkan.
Rabu, menjelang pukul 18.48 WIB, bayangan bulan kian nampak. Namun, langit yang mendung membuat proses pengamatan terganggu.
Perhitungan Peneliti Observatorium Bosscha Zainudin M. Arifin pun meleset. Seharusnya, umbra Bumi atau bayangan Bumi dapat terlihat sekitar pukul 19.50 WIB. Lagi-lagi, karena faktor cuaca, Bulan kembali tertutup awan kelabu.
“Padahal kami sudah siaga dari jam 19.52 sampai 21.08 WIB, menanti puncaknya Bulan terlihat kemerahan. Harapnya, antara jeda waktu tersebut, bisa digunakan untuk penelitian,” jelas Arifin.
Dia mengatakan, gerhana ini menarik karena ada tiga fenomena dalam satu waktu, yaitu Supermoon, Blood moon, dan Blue moon. Keunikan fenomena bulan super dan bulan merah adalah Bulan akan terilhat 14% lebih besar yang kemudian akan terlihat merah saat gerhana Bulan total berlangsung.
“Sedangkan Blue moon, jangan dibayangkan Bulan berwarna biru. Itu hanya istilah, dalam satu bulan masehi terjadi dua kali purnama. Nah, di Januari ini, kita sudah dua kali gerhana, 1 Januari dan 31 Januari. Makanya, disebutnya Blue moon purnama kedua dalam satu bulan,” paparnya.
Perlu diketahui, fase ketiga fenomena tersebut di dunia rata-rata terjadi sekitar 192 tahun sekali. Bagi masyarakat yang beruntung menyaksikan tiga fenomena bulan tersebut merupakan kesempatan langka.
“Berdasarkan kacamata penelitian, fenomena ini berkaitan dengan pengamatan atmosfer Bumi. Fenomena Bulan merah itu karena pendaran cahayanya dari atmosfer Bumi. Selain itu polusi yang ada di atmosfer juga bisa diukur. Sebetulnya, macam-macam penelitian terhadap fenomena gerhana,” ujarnya.
Tetapi yang kami tunggu sebetulnya adalah gerhana Bulan total. “Diprediksi, mungkin 28 Juni 2018 nanti. Sambil menunggu datangnya waktu itu, kami terus melakukan pengamatan antariksa setiap hari di Bosscha,” lanjut Arifin sembari mengintai langit menggunakan teleskop..
Siapa Bosscha?
Observatorium Bosscha atau Bosscha Sterrenwacht dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda, mulai 1923 hingga 1828. Observatorium yang berlokasi di atas bukit Lembang dengan ketinggian 1.300 m dpl ini, merupakan observatorium tertua Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Kepala Staf Informasi Bosscha Denny Mandey, kepada Mongabay Indonesia menuturkan secara gamblang pusat riset ruang angkasa ini. Dia mengatakan, observatorium seluas 8 hektar tersebut dibangun sebagian besar oleh kalangan swasta yang tergabung dalam NISV dan sedikit bantuan pemerintah Hindia Belanda.
Adalah Dr. J. Voute, astronom kebangsaan Belanda kelahiran Madiun yang sempat bekerja di African Astronomical Observatories Afrika Selatan, yang mengawali ide brilian ini. Dia berkeinginan membangun observatorium di Hindia Belanda (Jawa), waktu itu.
Voute bertemu Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar yang sukses. Bosscha juga dikenal sebagai orang dermawan yang memiliki perhatian lebih terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar beserta pendidikan. Gagas Voute disambutnya antusias.
Bosscha menjadi perintis sekaligus penyandang dana pembangunan observatorium. Pada 1921, Bosscha dan kolega mulai mengusahakan pembelian Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg. Kedua teropong bintang tersebut merupakan teknologi canggih dengan harga yang sangat mahal, di periode itu.
Teropong Ganda Zeiss merupakan teleskop terbesar dan tertua di Bosscha, usianya hampir 90 tahun. Teleskop ini sebenarnya terdiri 3 teleskop yaitu 2 teleskop utama dan 1 teleskop pencari (finder). Diameter lensa teleskop utama sekitar 60 cm dengan panjang fokus hampir 11 meter, sementara lensa teleskop pencari berdiameter 40 cm. Teleskop sakti ini bisa mengamati bintang yang ukurannya cahayanya tujuh ribu kali lebih lemah dari pandangan mata kita.
Sementara Teleskop Bamberg, diameter lensanya sepanjang 37 cm dengan panjang fokus 7 meter. Teleskop ini difungsikan untuk pengamatan kurva cahaya bintang-bintang variabel, serta fotometri gerhana bintang. Sebut saja, pengamatan kurva cahaya bintang ganda delta-Capricorni, selain tentunya digunakan untuk melihat matahari dan permukaan bulan. Saat ini, Bamberg lebih banyak digunakan untuk melayani kunjungan publik di malam tertentu. Penelitian yang dulunya dilakukan teleskop ini, kini telah diambil alih oleh teleskop yang lebih moderen.
Bangunan Koepel nan gagah, dirancang oleh arsitek Bandung ternama C.P. Wolff Schoemacher. Dia juga merupakan guru Presiden Soekarno di Technische Hoogeschool te Bandoeng atau Institut Teknologi Bandung.
“Meski Lembang kawasan rawan gempa namun dalam menuntukan lokasi pendirian observatorium ini merujuk peta geologi. Bosscha berada persis di tepi patahan Lembang. Bukit ini terdiri batu cadas yang dilapisi tanah, jadi cenderung lebih stabil,” kata Denny.
Menurut Her Suganda, dalam Wisata Paris van Java (2014), selama memimpin perusahan teh, Bosscha juga telah mendirikan sekolah dasar Vervoolgschool(SD Malabar) sebagai perhatiannya terhadap anak-anak petani di perkebunanya. Penyokong dana untuk pembangunan kampus ITB dan pendiri observatorium ini namanya diabadikan sebagai Observatorium Bosscha.
Nama KAR Bosscha memang dikenal di kalang masyarakat. Dikutip dari Maria-online.com, KAR Bossca fasih berbahasa Sunda dan sosoknya begitu bersahaja. Bosscha tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang didirikannya. Karena, pada 26 November 1928, dia meninggal beberapa saat setelah dianugerahi penghargaan sebagai Warga Utama Kota Bandung dalam upacara kebesaran yang dilakukan Gemente di Kota Bandung, Jawa Barat.
Penelitian
Pada 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada Pemerintah Indonesia. Setelah ITB berdiri tahun 1959, Observatorium Bosscha menjadi bagian dari ITB, tepatnya di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Di Bosscha, penelitian, pendidikan formal, dan pengembangan Ilmu Astronomi digiatkan.
Denny menjelaskan, pengamatan benda langit di Observatorium Bosscha tergantung tujuan penelitian sang astronom dan kemampuan alat yang ada. Pengamatan dapat berupa lintasan orbit bintang ganda visual, pengamatan perubahan cahaya bintang variabel, pengamatan asteroid yang melintas dekat bumi, dan yang terbaru adalah pengamatan planet di luar tata surya.
“Pengamatan bintang ganda visual merupakan penelitian yang sudah dilakukan sejak Observatorium Bosscha berdiri. Bentuk lintasan orbit kedua bintang dari hasil pengamatan nantinya akan dibandingkan dengan hasil perhitungan teoritis. Pada akhirnya, kombinas ini akan sangat membantu dalam memperkirakan nilai massa suatu bintang. Patut diketahui, program penelitian di Observatorium Bosscha tidak terbuka untuk masyarakat,” ucapnya.
Hingga sembilan dekade, Bosscha telah menerbitkan berbagai jurnal ilmiah tentang astronomi dari sejumlah pengamatan. Namun begitu, Bosscha juga mengalami ketertinggalan dari pesatnya perkembangan teknologi.
Teknologi teleskop saat ini sudah sangat maju. Astronom di mancanegara telah dilengkapi teleskop berdiameter 20 kali lebih besar dibandingkan Teleskop Zeiss. Didukung teknologi satelit, mereka mampu mengamati objek-objek yang tidak mungkin diamati oleh teleskop yang ada di Bosscha.
“Dalam hal teknologi Bosscha tidak menampik tertinggal dari negara lain. Teropong besar yang ada masih menggunakan generasi lama 1920-an. Untuk upgrade alat dilakukan semampunya mengingat dibutuhkan dana yang besar. Meski begitu, kami masih cukup produktif dalam hal pengamatan,” imbuhnya.
Sementara, terkait gangguan pengamatan luar angkasa, polusi cahaya akibat pembangunan permukiman dan objek wisata yang menjamur di Lembang dan kawasan Bandung Utara, sangat berdampak.
“Penelitian atau kegiatan peneropongan membutuhkan langit gelap. Terangnya lingkungan sekitar akan membuat langit ikut menjadi terang, sehingga cahaya beberapa bintang yang dulu masih bisa diamati, sekarang menjadi sulit karena cahaya langit latar yang semakin terang. Artinya, bukan berarti teropong tidak bisa bekerja tetapi target pengamatan menjadi terbatas dan faktor kesalahan meningkat. Semoga, ada perhatian khusus dari pemerintah untuk menata kembali peruntukan ruang dan penggunaan cahaya lampu di sekitar Bosscha,” terang Denny.
Observatorium Bosscha sejatinya telah dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah pada 2004. Aturannya, UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Tahun 2008, Bosscha pun ditetapkan Pemerintah sebagai Objek Vital Nasional yang harus diamankan.
Ketegasan pemerintah sangat dinantikan untuk melindungi pusat penelitian antariksa ini dari segala gangguan. Sebagaimana yang diingatkan Denny, “Pergaulan antarnegara sekarang dan masa depan, salah satunya akan dilandasi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi antariksa.” Akankah Indonesia?
Sumber : http://www.mongabay.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar