Minggu, 13 Mei 2018

Kewajiban MengQodha Shalat

A. Dalil Shalat Qadha
Ada beberapa hadits yang menjadi dasar wajibnya shalat Qadha, antara lain 
1. Hadits Shahih Bukhari
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)
2. Praktek Nabi SAW Mengqadha' Empat Waktu Shalat Dalam Perang Khandaq
apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika meninggalkan 4 waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya ketika berkecamuk perang Khandaq di tahun kelima hijriyah.
عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله : إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ
Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i) 
3. Praktek Nabi SAW Mengqadha Shalat Shubuh Sepulang dari Perang Khaibar
Selain itu juga apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika tertidur dan habis waktu Shubuh saat terjaga saat pulang dari perang Khaibar di tahun ketujuh hijriyah. 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلاةِ . قَالَ بِلالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى
Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata,”Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari) 
B. Ijma' Ulama Atas Wajibnya Qadha Shalat
Seluruh ulama dari semua mazhab fiqih yang ada, baik yang muktamad atau yang tidak, tanpa terkecuali telah berijjma' atas wajibnya qadha' shalat. Para ulama empat mazhab tanpa terkecuali satu pun telah bersepakat bahwa hukum mengqadha' shalat wajib yang terlewat wajib. Tidak ada satu pun ulama yang punya pendapat yang berbeda. Sebab dasar-dasar kewajibannya sangat jelas dan nyata, tidak ada satu pun orang Islam yang bisa menolak kewajiban qadha' shalat.

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi sebagai berikut :
ومن فاتته صلاة قضاها إذا ذكرها وقدمها على فرض الوقت
Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib mengqadha'nya begitu dia ingat. Dan harus didahulukan pengerjaanya dari shalat fardhu pada waktunya[1]
Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :
أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة
Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit[2]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :
ومن نسي صلاة مكتوبة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فذلك وقتها
Orang yang lupa mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan shalat begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia[3]
Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu tokoh ulama besar dalam mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalamnya kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :
الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي الْقَضَاءِ وَهُوَ وَاجِبٌ فِي كُلِّ مَفْرُوضَةٍ لَمْ تفعل
Pasal pertama tentang qadha. Mengqadha' hukumnya wajib atas shalat yang belum dikerjakan.[4]
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah sebagai berikut :
الْقَضَاء إِيقَاع الصَّلَاة بعد وَقتهَا وَهُوَ وَاجِب على النَّائِم وَالنَّاسِي إِجْمَاعًا وعَلى الْمُعْتَمد
Qadha' adalah mengerjakan shalat setelah lewat waktunya dan hukumnya wajib, baik bagi orang yang tertidur, terlupa atau sengaja[5]

3. Mazhab As-Syafi'iyah

Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
ومن وجبت عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها
Orang yang wajib mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka wajiblah atasnya untuk mengqadha'nya[6]
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq terbesar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور
Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab.[7]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[8]
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Inshaf sebagai berikut :
وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَوَاتٌ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا عَلَى الْفَوْرِ
Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat maka wajib atasnya untuk mengqadha' saat itu juga.[9]
Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu tokoh besar dalam mazhab Al-Hanabilah menegaskan bahwa mengqadha' shalat itu wajib hukumnya, meskipun jumlahnya banyak.
فإن كثرت عليه الفوائت وجب عليه أن يقضيها بحيث لا يشق عليه في نفسه أو أهله أو ماله
Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, selaam tidak memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya atau hartanya. [10]
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (w. 751 ) menuliskan di dalam kitabnya Ash-Shalatu wa Ahkamu Tarikuha sebagai berikut :
وأما الصلوات الخمس فقد ثبت بالنص والإجماع أن المعذور بالنوم والنسيان وغلبة العقل يصليها إذا زال عذره
Adapun shalat lima waktu yang telah ditetapkan dengan nash dan ijma'm bahwa orang yang punya udzur baik tidur, lupa atau ghalabatul 'aqli wajib mengerjakannya begitu udzurnya sudah hilang.[11]
C. Mengganti Shalat Yang Sengaja Ditinggalkan
Seluruh ulama sepakat bahwa apapun latar belakang yang mendasari seseorang meninggalkan shalat fardhu, baik karena sengaja atau karena ada udzur yang syar'i, tetapi kewajiban untuk menggantinya tetap berlaku. Oleh karena itu tidak ada bedanya dalam urusan tata cara menggqadha'nya. 
Namun ada sedikit catatan yang perlu diketahui, yaitu :
1. Mazhab Asy-Syafi'i Membolehkan Menunda Qadha' Bila Karena Udzur
Umumnya para ulama sepakat bahwa menggaqadha' shalat itu wajib segera dikerjakan, begitu seseorang telah terlepas dari udzur yang menghambatnya. Misalnya, ketika terlewat gara-gara tertidur atau terlupa, maka wajib segera mengerjakan shalat begitu bangun dari tidur atau teringat. Dan hal ini juga berlaku buat orang yang secara sengaja meninggalkan shalat fardhu tanpa udzur.
Namun khusus dalam pandangan mazhab Asy-syafi'iyah, bila seseorang punya udzur yang amat syar'i ketika meninggalkan shalat, dibolehkan untuk menunda qadha'nya dan tidak harus segera dilaksanakan saat itu juga. Dalam hal ini kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (تراخي). 
Tetapi bila sebab terlewatnya tidak diterima secara syar'i, seperti karena lalai, malas, dan menunda-nunda waktu, maka diutamakan shalat qadha' untuk segera dilaksanakan secepatnya.
Bolehnya menunda shalat qadha' yang terlewat dalam mazhab ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :
لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا فَارْتَحَل فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَل فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ
Rasulullah beliau menjawab,"Tidak mengapa", atau " tidak menjadi soal". "Lanjutkan perjalanan kalian". Maka beliau SAW pun berjalan hingga tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air dan berwudhu. Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).
2. Ibnu Hazm Menyendiri Tentang Tidak Ada Qadha' Kalau Sengaja Meninggalkan Shalat
Ibnu Hazm (w. 456 H) menuliskan di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi Atsar, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkannya secara sengaja.
وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها فهذا لا يقدر على قضائها أبدا فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزانه يوم القيامة وليتب وليستغفر الله عز وجل
Orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya, maka tidak dihitung qadha'nya selamanya. Maka dia memperbanyak amal kebaikan dan shalat sunnah untuk meringankan timbangan amal buruknya di hari kiamat, lalu dia bertaubat dan meminta ampun kepada Allah SWT. [12]
D. Terlalu Banyak Meninggalkan Shalat, Apakah Tetap Wajib Diganti?
Tidak ada satupun ulama yang mengatakan bahwa bila shalat yang terlewat itu terlalu banyak jumlahnya, lantas kewajiban qadha'nya menjadi gugur. Bahkan Ibnu Hazm yang selama ini berbeda dengan semua ulama yang ada, juga tidak memandang gugurnya kewajiban qadha apabila alasannya hanya karena jumlahnya terlalu banyak. Buat beliau, bila sengaja meninggalkan shalat, gugurlah kewajiban qadha'.
Oleh karena itulah maka umumnya para ulama sepakat bahwa mau banyak atau sedikit shalat yang ditinggalkan, tetap saja wajib untuk dikerjakan. Bahkan Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menyebutkan tentang kewajiban menyibukkan diri dalam rangka mengqadha' shalat yang terlalu banyak ditinggalkan.
إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[13]

Bahkan Ibnu Taimiyah sekalipun juga tetap mewajibkan qadha' shalat meski sudah terlalu banyak. Dalam fatwanya beliau tegas menyebutkan hal itu :
فإن كثرت عليه الفوائت وجب عليه أن يقضيها بحيث لا يشق عليه في نفسه أو أهله أو ماله
Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, selaam tidak memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya atau hartanya. [14]
Apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah itu juga didukung oleh semua ulama lainnya. Bahwa meskipun hutang shalat itu banyak, bukan berarti kewajiban untuk mengqadha'nya menjadi gugur. 
Sebab logikanya, kalau untuk satu shalat yang ditinggalkan itu wajib diganti, bagaimana mungkin ketika jumlah hutangnya lebih banyak malah tidak perlu diganti? Kalau hutang duit seratus ribu wajib diganti, masak hutang seratus juta tidak perlu diganti? Kalau begitu mendingan kita berhutang yang banyak saja sekalian, biar gugur kewajiban membayar hutangnya.
Tentu argumentasi seperti itu agak menyalahi logika nalar dan akal sehat setiap orang.
Sumber : www.rumahfiqih.com

Kamis, 19 April 2018

Khususiat Nabi Muhammad Saw


Hasil gambar untuk gambar kaligrafi muhammad
Dalam kitab al-Maraqi al-Ubudiyah karangan Syeikh al-Nawawi al-Bantani disebutkan sejumlah perilaku yang hanya dimiliki Nabi Muhammad Saw. Kitab tersebut merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghazali.
Berikut terjemahan al-Maraqi al-Ubudiyah tentang Nabi Muhammad Saw:
Rasulullah SAW tidak pernah mimpi bersetubuh baik sebelum jadi nabi atau setelahnya. Beliau juga sama sekali tidak pernah menguap sepanjang masa.
Tidak ada satupun binatang yang melarikan diri (liar) dari beliau. Tidak pernah ada lalat hinggap di tubuh beliau yang mulia.
Beliau bisa mengetahui sesuatu yang ada di belakangnya, seperti beliau melihat sesuatu itu yang ada di hadapannya.  Bekas air seni beliau tidak pernah dilihat di permukaan bumi.
Hati beliau tidak pernah tidur, walaupun mata beliau mengantuk. Bayangan beliau tidak pernah dapat dilihat ketika beliau kena sinar matahari.
Dua pundak beliau selalu terlihat lebih tinggi dari pundak orang-orang yang duduk bersama beliau. Ceritakanlah sifat beliau, bahwa beliau telah dikhitan semenjak dilahirkan
Ini semua merupakan karakteristik beliau. Hendaknya engkau hapalkan bait tersebut, niscaya engkau mendapat perlindungan dari bahaya kebakaran, pencurian dan musibah. (Sumber: Buku al-Maraqi al-Ubudiyah karya Syeikh al-Nawawi al-Bantani)
sumber : www.arah.com

Senin, 26 Maret 2018

SHALAT TARAWIH 4 RAKA’AT 1 SALAM

Menurut Empat Mazhab:
Mazhab Hanafi : Terhitung dua rakaat.
Mazhab Hanbali : Sah, tapi makruh.
Mazhab Maliki : Sah, tapi makruh karena meninggalkan sunnah tasyahud dan salam setiap dua rakaat.
Mazhab Syafi’i : BATAL.
Sumber: al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Syaikh Abu Bakr al-Jazairi, juz.I, hal.525)
Teks lengkap:
          الحنفية قالوا : إذا صلى أربع ركعات بسلام واحد نابت عن ركعتين اتفاقا وإذا صلى أكثر من أربع بسلام واحد اختلف التصحيح فيه فقيل : ينوب عن شفع من التراويح وقيل : يفسد
           الحنابلة قالوا : تصح مع الكراهة وتحسب عشرين ركعة
           المالكية قالوا : تصح وتحسب عشرين ركعة ويكون تاركا لسنة التشهد والسلام في كل ركعتين . وذلك مكروه
           الشافعية قالوا : لا تصح إلا إذا سلم بعد كل ركعتين فإذا صلاها بسلام واحد لم تصح سواء قعد على رأس كل ركعتين أو لم يقعد فلا بد عندهم من أن يصليها ركعتين ركعتين ويسلم على رأس كل ركعتين
(الفقه على المذاهب الأربعة: 1/525)

:
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar Mufti Al-Azhar:
روى البخارى وغيره عن السيدة عائشة رضى اللَّه عنها أن النبى صلى الله عليه وسلم ما كان يزيد فى رمضان ولا فى غيره على إحدى عشرة ركعة، يصلى أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ، ثم يصلى أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ، ثم يصلى ثلاثا .
وقولها : " يصلى أربعا " لا ينافى أنه كان يسلم من ركعتين ، وذلك لقول النبى صلى الله عليه وسلم " صلاة الليل مثنى مثنى.
Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah: “Rasulullah Saw tidak pernah menambah di dalam Ramadhan dan di luar Ramadhan lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat”.
Ucapan Aisyah: “Rasulullah Saw shalat empat rakaat”, ini tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw itu salam pada setiap dua rakaat”. Ini berdasarkan ucapan Rasulullah Saw: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”.
(Sumber: Fatwa al-Azhar: 8/464).



Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz (Mufti Saudi Arabia):
ما كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة ، يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ، ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ، ثم يصلي ثلاثا متفق عليه .
وقد ظن بعض الناس أن هذه الأربع تؤدى بسلام واحد ، وليس الأمر كذلك ، وإنما مرادها أنه يسلم من كل اثنتين كما ورد في روايتها السابقة ، ولقوله - صلى الله عليه وسلم - : صحيح البخاري الصلاة (460),صحيح مسلم صلاة المسافرين وقصرها (749),سنن الترمذي الصلاة (461),سنن النسائي قيام الليل وتطوع النهار (1694),سنن أبو داود الصلاة (1421),سنن ابن ماجه إقامة الصلاة والسنة فيها (1175),مسند أحمد بن حنبل (2/78),موطأ مالك النداء للصلاة (269),سنن الدارمي الصلاة (1458). صلاة الليل مثنى مثنى ولما ثبت أيضا في الصحيح من حديث ابن عباس أنه عليه الصلاة والسلام كان يسلم من كل اثنتين.

“Rasulullah Saw tidak pernah menambah di dalam Ramadhan dan di luar Ramadhan lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sebagian orang menyangka bahwa empat rakaat tersebut satu salam, tidaklah demikian, maksudnya adalah bahwa salam setelah selesai dua rakaat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat di atas dan berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. Juga berdasarkan hadits shahih dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw salam setiap selesai dua rakaat”.
(Sumber: Majmu’ Fatawa Ibn Baz: 11/374-375).

Pendapat Syekh Ibnu ‘Utsaimin (Ulama Saudi Arabia) :
ففي حديث عائشة تقول: (يصلي أربعاً) فهل يسردها؟ فهم بعض الناس أن المعنى أنه يسردها، فصار يسرد اربعاً بسلام واحد وتشهد واحد، ثم يصلي أربعاً بتشهد واحد وسلام واحد، ثم يصلي ثلاثاً بتشهد واحد وسلام واحد. وهذا وإن كان اللفظ محتملاً له، لكن ينبغي لطالب العلم أن يكون أفقه واسعاً، وأن يجمع بين أطراف الأدلة حتى لا تتناقض ولا تتنافى، فهذا الظاهر الذي هو كما قلنا يعارضه قول النبي صلى الله عليه وسلم حين سئل عن صلاة الليل قال: "مثنى مثنى"(1) وعلى هذا فيحمل قولها يصلي اربعاً على أنه يصلي أربعاً بتسليمتين، لكنه يستريح بعد الأربع، ثم يستأنف الأربع الأخرى بدليل قولها: "يصلي أربعاً فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي" وثم في اللغة العربية تفيد التراخي، وعلى هذا فيكون المعنى أنه يسلم من ركعتين، ثم من ركعتين، ثم يستريح، ثم يأتي بركعتين، ثم ركعتين، ثم يستريح، ثم يأتي بالثلاث.
Dalam hadits riwayat Aisyah disebutkan: “Rasulullah Saw shalat empat rakaat”. Apakah beliau melaksanakannya langsung? Ada sebagian orang yang memahami bahwa maknanya Rasulullah Saw melaksanakannya langsung empat rakaat dengan satu salam dan satu tasyahud, kemudian Rasulullah Saw shalat lagi empat rakaat langsung dengan satu tasyahud dan satu salam, kemudian shalat lagi tiga rakaat dengan satu tasyahud dan satu salam. pendapat ini, meskipun mengandung makna demikian, akan tetapi penuntut ilmu mesti memahami dengan pemahaman fiqh yang luas, menggabungkan dari semua dalil, agar tidak saling kontradiktif dan saling menafikan. Ini terlihat jelas bertentangan dengan hadits lain yang menyebutkan: “Shalat malam itu dua rakaat – dua rakaat”. Dengan demikian maka makna ucapan Aisyah: “Rasulullah Saw shalat empat rakaat”, maknanya: Rasulullah Saw shalat empat rakaat dengan dua salam, akan tetapi Rasulullah Saw duduk istirahat setelah empat rakaat, kemudian Rasulullah Saw memulai empat rakaat berikutnya dengan dalil ucapan Aisyah: “Rasulullah Saw shalat empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian Rasulullah Saw shalat”. Kata tsumma (kemudian) dalam kaedah bahasa Arab mengandung makna at-Tarakhi (dilaksanakan kemudian). Dengan demikian maka maknanya bahwa Rasulullah Saw mengucapkan salam setelah dua rakaat, kemudian salam lagi setelah dua rakaat, setelah itu Rasulullah Saw duduk istirahat. Kemudian shalat lagi dua rakaat, kemudian shalat lagi dua rakaat, kemudian duduk istirahat. Kemudian shalat lagi tiga rakaat.
(Sumber:  Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Utsaimin: 14/104).

وهنا مسألة وهي: أن بعض الناس فهم من حديث عائشة رضي الله عنها حين سئلت كيف كانت صلاة النبي صلى الله عليه وسلم في رمضان؟ فقالت: "ما كان يزيد في رمضان ولا غيره على إحدى عشرة ركعة، يصلي أربعاً فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي أربعاً فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي ثلاثاً"(3). حيث ظن أن الأربع الأولى بسلام واحد، والأربع الثانية بسلام واحد، والثلاث الباقية بسلام واحد. ولكن هذا الحديث يحتمل ما ذكر، ويحتمل أن مرادها أنه يصلي أربعاً ثم يجلس للاستراحة واستعادة النشاط، ثم يصلي أربعاً وهذا الاحتمال أقرب أي أنه يصلي ركعتين ركعتين، لكن الأربع الأولى يجلس بعدها ليستريح ويستعيد نشاطه، وكذلك الأربع الثانية يصلي ركعتين ركعتين ثم يجلس ليستريح ويستعيد نشاطه. ويؤيد هذا قوله عليه الصلاة والسلام: "صلاة الليل مثنى مثنى"(1). فيكون في هذا جمع بين فعله وقوله صلى الله عليه وسلم، واحتمال أن تكون أربعاً بسلام واحد وارد لكنه مرجوح لما ذكرنا من أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "صلاة الليل مثنى مثنى".
Ada suatu masalah: ada sebagian orang memahami hadits Aisyah ketika beliau ditanya tentang bagaimana shalat Rasulullah Saw di dalam bulan Ramadhan? Aisyah menjawab: “Rasululllah Saw tidak pernah menambah di dalam bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat”. Sebagian orang menyangka bahwa 4 rakaat itu satu salam. kemudian 4 rakaat satu salam. kemudian 3 rakaat satu salam. hadits ini mengandung makna bahwa Rasulullah Saw shalat 4 rakaat, kemudian beliau duduk istirahat dan untuk mempersiapkan kekuatan. Demikian juga 4 rakaat berikutnya. Rasulullah Saw shalat dua rakaat-dua rakaat, kemudian duduk untuk istirahat dan untuk mempersiapkan kekuatan. Ini didukung hadits: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. Dengan demikian digabungkan antara perbuatan dan ucapan Rasulullah Saw. Kemungkinan bahwa Rasulullah Saw shalat empat rakaat satu salam, pendapat itu marjuh (lemah) berdasarkan yang telah kami sebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Shalat malam dua rakaat-dua rakaat”.
(Sumber:  Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Utsaimin: 14/104).


4 rakaat 1 salam TIDAK SUNNAH
ولا يجوز له أن يقرن بين الركعات، يعني بمعنى: أن يصلي أربعاً جميعاً وأربعاً جميعاً؛ لأن هذا ليس من السنة، بل قال النبي صلى الله عليه وسلم: (صلاة الليل مثنى مثنى)، ثم إنه قد يشق على الناس إذا جمع أربع ركعات جميعا
Tidak boleh menggabungkan 4 rakaat, artinya: shalat empat rakaat sekaligus, karena ini tidak sesuai Sunnah. Rasulullah Saw bersabda: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. Empat rakaat itu terkadang memberatkan bagi sebagian orang.
(Sumber: Fatwa Syekh Ibnu ‘Utsaimin dalam Liqa’at Bab al-Maftuh: 22/174).

4 rakaat 1 salam GAGAL FAHAM
لكن قد يقول قائل: ما تقولون في حديث عائشة : (كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يزيد في رمضان ولا غيره على إحدى عشرة ركعة، يصلي أربعاً فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي أربعاً فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي ثلاثاً)؟نقول: هي حكت عدد القيام أنه إحدى عشرة، ثم فصلت فقالت: أربع وأربع وثلاث، ومعنى ذلك: أنه إذا صلى أربعاً توقف، ثم صلى أربعاً، هذا هو المتعين، ولا يمكن أن يحمل على أنها أربع مسرودة لوجهين: الوجه الأول: أن هذا الإجمال الذي حصل في حديث عائشة فصل من عائشة رضي الله عنها نفسها: (أنه كان يصلي ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ثلاث). ثانياً: أن الرسول عليه الصلاة والسلام نفسه قال: (صلاة الليل مثنى مثنى) ومن فهم من بعض الناس أنه يجمع الأربع فقد فهم خطأً، ولم يجمع بين النصوص.
Akan tetapi jika ada seseorang yang bertanya: Apa pendapat anda tentang hadits riwayat Aisyah: “Rasulullah Saw tidak pernah menambah di dalam Ramadhan dan di luar Ramadhan lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat.
Kami jawab: Aisyah bercerita tentang jumlah shalat Rasulullah Saw, 11 rakaat. Kemudian Aisyah merincikannya: empat rakaat-empat rakaat dan tiga rakaat. Artinya: Rasulullah Saw shalat 4 rakaat, kemudian beliau berhenti. Kemudian shalat 4 rakaat. Demikianlah maknanya. Tidak mungkin memahaminya bahwa Rasulullah Saw shalat 4 rakaat sekaligus, karena dua jawaban:
Pertama, pemahaman umum yang difahami dari hadits Aisyah di atas diperincikan hadits Aisyah yang lain: “Rasulullah Saw shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian tiga rakaat”.
Kedua, Rasulullah Saw bersabda: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. Siapa yang memahami bahwa ia menggabungkan empat rakaat, maka ia telah keliru dan ia tidak menggabungkan antara beberapa teks hadits.

(Sumber: Fatwa Syekh Ibnu ‘Utsaimin dalam Liqa’at Bab al-Maftuh: 22/174).

Sumber: somadmorocco.blogspot.co.id

Minggu, 04 Maret 2018

Nama Bulan Hijriyah Huda Keren

China Tingkatkan Anggaran Militer jadi Rp 2.413 Triliun pada 2019


Bendera China

Wow !!! Negeri tirai bambu ini tidak main-main dalam urusan militer. Bayangin aja 2.413 Triliun (duit itu apa daun kelor) hanya tuk anggaran militer doank ..., Bagi Indonesia hampir sama la ya, sekitar 200 triliun, mmm angka dua depannya sama sih... hehehehe.
Kita simak beritanya:
China mengumumkan bahwa negaranya akan meningkatkan anggaran militer sebesar 8 persen menjadi 1,11 triliun yuan atau sekitar Rp 2.413 triliun untuk 2019.
Hal tersebut diumumkan oleh Perdana Menteri China Li Keqiang dalam pertemuan tahunan parlemen di Beijing. Ia mengatakan bahwa tentara China harus "kuat seperti batu" dalam menghadapi perubahan lingkungan keamanan nasional.
Dikutip dari BBC, Senin (5/3/2018), kenaikan anggaran tersebut dipandang sebagai indikasi ambisius strategis China yang tengah memodernisasi tentaranya, yang merupakan terbesar di dunia. (tiga kali lagi wow, wow, wow!!!)
Selain itu, Negeri Tirai Bambu itu juga dinilai akan mengembangkan infrastrukturnya di daerah yang diperebutkan, seperti Laut China Selatan dan wilayah perbatasan Himalaya.
Dalam pertemuan itu, Pemerintah China mengatakan bahwa pihaknya berfokus pada tiga tujuan utama pada 2019, yakni mengatasi paparan China terhadap risiko keuangan, menekan polusi, dan memerangi kemiskinan. 
Dalam pidatonya, Li juga menargetkan pertumbuhan ekonomi China sebesar 6,5 persen -- sedikit lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada 2017, yakni 6,9 persen.
China saat ini menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia, setelah bertahun-tahun mengalami pertumbuhan pesat.
Di sisi lain, diyakini akan terjadi potensi perang dagang dengan AS, karena Pemerintah Donald Trump menerapkan kebijakan untuk mengalihkan keseimbangan global dalam perdagangan. (hantam Trump tu Li..,)
Surplus perdagangan China dengan AS mencapai titik tertinggi sepanjang masa, yakni sebesar US$ 275,81 miliar pada 2017.
Trump mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hasil kesepakatan perdagangan yang "sangat bodoh". Ia telah mengumumkan tarif baru nan curam untuk impor baja dan alumunium, serta telah menargetkan impor China secara khusus.
Juru bicara Kongres Rakyat Nasional (NPC), Zhang Yesui, mengatakan bahwa China tidak menginginkan perang dagang. Namun ia mengatakan, jika AS mengambil tindakan yang melukai kepentingan China, negaranya tidak akan tinggal diam.
Kongres Rakyat Nasional (NPC) juga diperkirakan akan mengajukan penghapusan pembatasan presidensial sebanyak dua kali dalam lima tahun masa kepemimpinan. Hal tersebut memungkinkan Xi Jinping untuk terus menjabat sebagai presiden tanpa batas waktu.
Xi, disebut-sebut sebagai pemimpin terkuat setelah Mao Zedong atau Ketua Mao.
Bahkan beberapa buah pemikiran Presiden Xi Jinping diabadikan di dalam amandemen konstitusi partai. Selain itu, hingga kini, pengurus partai belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan mengenalkan calon pemimpin China selanjutnya.
Dalam aturan pemerintahan kali ini, masa kepemimpinan Presiden Xi Jinping seharusnya akan selesai pada 2023 mendatang. Tradisi membatasi lama kepemimpinan presiden selama 10 tahun, mulai diberlakukan di China pada pertengahan dekade 1990-an lalu.
Perubahan tersebut ditetapkan pasca-imbauan mantan pemimpin China, Deng Xiaoping, yang mengingatkan tentang risiko kekacauan yang pernah terjadi di era kepemimpinan absolut Mao Zedong.
Meski dua pendahulunya mengikuti aturan terkait, namun tidak untuk Presiden Xi. Sejak dirinya mulai unjuk gigi pada 2012, Presiden Xi menunjukkan kecenderungan gaya kepemimpinan semi-absolut.

Sumber: Liputan6.com


Jumat, 23 Februari 2018

RI Bisa Bebas Utang, Ini Syarat dari Menteri Terbaik Dunia


Menkeu Sri Mulyani

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia saat ini masih menganut kebijakan ekspansif, yakni belanja atau pengeluaran lebih besar daripada penerimaan negara. Akibatnya terjadi defisit fiskal yang harus dibiayai dari utang.
Sri Mulyani mengatakan Indonesia memiliki kemampuan untuk berhenti meminjam atau berutang. Akan tetapi ada syarat yang harus dipenuhi jika negara ini tidak lagi mengandalkan utang untuk menggerakkan ekonomi Indonesia.
“Banyak yang menanyakan, kapan Bu kita berhenti pinjam? Saya akan berhenti pinjam kalau pendapatan kita lebih dari belanja,” tegas Sri Mulyani seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, Jakarta, seperti ditulis Minggu (19/2/2017).
Sebagai negara yang terus melakukan pembangunan, kata Sri Mulyani Indonesia membutuhkan anggaran belanja infrastruktur yang tinggi. “Dan untuk membangun, penerimaan itu tidak datang dari langit,” tambah dia.
Sekarang ini, Sri Mulyani melanjutkan pemerintah terus berupaya memperbaiki rasio pajak (tax ratio) untuk meningkatkan pendapatan. Tax ratio sebagai indikator jumlah pembayar pajak masih tergolong rendah dikisaran 11 persen. Ini berarti masih besar peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak.
“Jadi, jangan lupa bayar pajak ya,” pinta Sri Mulyani.
Direktur Strategi dan Portofolio Utang DJPPR Kementerian Keuangan Schneider Siahaan sebelumnya pernah menyampaikan, bebas dari utang bukanlah hal yang mustahil bagi Indonesia. "Kita bebas dari utang? Bisa saja lah," ujar Schneider.
Akan tetapi, menurut Schneider, ada syarat supaya Indonesia terbebas dari utang, bahkan tidak berutang lagi kepada negara lain maupun lembaga-lembaga internasional. Salah satunya meningkatkan pendapatan per kapita.
"Kita tidak usah ngutang lagi kalau pendapatan per kapita kita sudah tinggi. Misalnya di atas US$ 10 ribu selevel China, atau US$ 30 ribu kayak Eropa. Sekarang pendapatan per kapita kita baru US$ 3.000 atau sekitar Rp 40 juta per tahun atau rata-rata Rp 3 jutaan per bulan," jelas dia.
Schneider menilai, utang bukan merupakan tujuan, namun instrumen untuk mencapai tujuan bernegara mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
"Utang itu instrumen bukan tujuan. Pertanyaannya, kita lebih senang mana punya utang yang bisa dibayar dan utang bisa menghasilkan penghasilan yang layak, daripada kita tidak punya utang tapi hidup pas-pasan. Jadi asal utang produktif, bisa bayar utang, kan tenang-tenang saja," dia memaparkan.

Sumber : Liputan6.com

Selasa, 20 Februari 2018

Sejarah Perkembangan Filsafat


Hasil gambar untuk gambar filsafat

Sejarah filsafat barangkali sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Filsafat tidak bisa dipahami lepas dari sejarahnya. Filsafat muncul dan berkembang dalam historisitas. Sejarah filsafat merupakan panggung kontestasi filsafat yang darinya dinamika pengertian dan bisa jadi makna substantif filsafat pada akhirnya bisa garisbawahi.  Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengerti filsafat adalah dengan cara memahami dinamika maknanya dalam perkembangan sejarahnya. Tidak cukup mengetahui filsafat dari filosof, tetapi juga dari sejarah yang menjadi saksi dan sekaligus konteks bagi filsafat mementaskan dan juga menampakkan makna dirinya. Oleh karena itu pada bagian ini, disampaikan pengenalan awal tentang sejarah filsafat, kapan sebenarnya filsafat itu pertama kali muncul di planet biru ini, dan bagaimana mengerti secara filsafat dengan cara yang paling sederhana. Yang pertama akan dijelaskan dalam subjudul penyoalan asal-usul filsafat dalam makna hakikinya, dan yang kedua diurai di bawah subjudul periodesasi sejarah filsafat sebagai pendekatan penyederhanaan pemahaman sejarah filsafat.

      A. Persoalan Asal-Usul Filsafat
Asal-usul filsafat, dalam pengertian cara-cara baru berpikir yang diberi nama filsafat pertama kali dibuat dan menjadi tradisi besar dan berpengaruh, mulai dari peradaban Yunani Kuno. Asal-usul filsafat dalam pengertian ini biasanya lebih tepat asal-usul filsafat Barat, yang bermula dari Yunani Kuno sekitar Abad ke-7 dan ke-6 SM ketika Anaximandros, Anaximenes, Thales dan lain sebagainya disebut-sebut sebagai pemikir-pemikir generasi awal yang disebut secara embrional dipandang sebagai cikal-bakal filsafat berawal dan tumbuh hingga dewasa ini. Pythagoras disebut-sebut sebagai pemikir pertama yang menyebut model berpikir Thales dan kawan-kawannya itu dengan filsafat. Tetapi jika dari sudut pandang cara-cara yang dipakai Thales dan kawan-kawan, yaitu cara dari dalam diri manusia memahami realitas atau alam, yang dipandang secara awal-mula filsafat, sebenarnya cara-cara berpikir yang mirip dengan mereka sudah ada jauh sebelumnya, misalnya di India.
Pada tahun 1500 – 700 SM, di India, di tengah-tengah usaha memahami realitas atau alam ini secara mistis dan religius, menurut Velasques, ada cara-cara baru dalam memahami realitas atau alam seperti bisa ditemui dalam himne-himne dalam Veda-veda karya para penulis dan pemikir India yang umumnya tidak diketahui. Cara-cara memahami realitas atau alam adalah upaya mendeskripsikan asal-usul alam semesta dalam istilah-istilah mistis, namun dalam saat yang sama juga menggambarkan cara-cara yang nonmistis dan dekat dengan terma-terma filsofis sebagaimana kita kenal sekarang, misalnya, tentang eksplanasi Yang Satu yang dipahami yang bukan eksistensi ataupun noneksistensi, yang tidak di bumi dan tidak dilangit, pendeknya yang takterbedakan dan taktergambarkan. Mereka berfilsafat tentang hakikat realitas mutlak. Dalam Uphanishad, tulisan-tulisan yang kemudian ditambahkan dalam Veda, kita bisa menemukan upaya-upaya pertma para pemikir India memahami realitas mutlak dalam terma-terma filsofis.[1]
Filsafat dalam pengertian hakikinya, tanpa harus bernama filsafat, yaitu sebagai upaya mengerti secara rasional tentang dunia luar dan dunia dalam manusia, barangkali tidak bisa hanya disebut bermula dari masyarakat India, Mesir, Yunani atau yang lainnya. Kata-kata yang bijak untuk mengatakan asal-usul filsafat yang sesungguhnya, tanpa terjebak pada istilah, adalah semenjak manusia itu ada. Sejak manusia ada, berfilsafat atau sebut saja berpikir mendalam dan mendasar mengenai realitas barangkali telah menjadi bagian dari hidup manusia itu, meski mungkin pengertian filsafatnya tidak sedalam yang bisa dimengerti orang di jaman sekarang. Tidak bijak kiranya mengatakan bahwa berfilsafat hanya mungkin dimengerti orang setelah sekian masa perjalanan umat manusia. Tidak bijak kalau kita bilang, orang-orang primitif tidak mungkin bisa berfilsafat, hanya orang setelah jaman filosof-filosof Yunani saja yang bisa berfilsafat. Berfilsafat adalah bagian cari cara hidup manusia dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya, dan awal-mula filsafat, dalam makna hakikinya tanpa melihat namanya karena sebelum ada nama filsafat orang sudah berfilsafat, adalah pertama kali manusia ada.

B. Periodesasi Sejarah Filsafat sebagai Pendekatan Penyederhanaan Pemahaman Sejarah Filsafat
Penulisan sejarah ideal tentang sejarah filsafat mestinya mencakup seluruh pikiran semua filosof yang ada dalam sejarah hidup manusia. Jika mengikuti sejarah ideal tentang filsafat ini, tentu tulisan yang akan dihasilkan membutuhkan banyak waktu dan tidak cukup hanya ratusan atau ribuan jilid buku. Di antara mereka yang mencoba memasuki penulisan sejarah filsafat ideal ini adalah Copleston. Dia mencoba menulis tentang sejarah filsafat dari awal sejak filsafat pada masanya, dan hasilnya adalah buku sejarah filsafat yang berjumlah …. Jilid?
Dalam bagian ini kita hanya akan mencoba memahami sejarah filsafat dengan cara yang sangat sederhana dan serba ringkas, karena yang penting kita setidaknya bisa mengerti sejarah filsafat secara sekilas dengan karakter-karekter dasar berfilsafatnya. Salah satu cara melakukan penyederhanaan pemahaman tentang sejarah filsafat adalal melalui pendekatan periodisasi sejarah filsafat. Yang dimaksudkan pendekatan periodisasi sejarah filsafat adalah upaya menemukan ciri-ciri fundamental pemikiran filosofis yang sama dilakukan oleh para filosof dalam kurun waktu tertentu, dan di kurun waktu berikutnya bisa ditemukan tanda perubahan ciri-ciri fundamental pemikiran filsofis yang berbeda yang menunjukkan kontinuitas kritisnya terhadap kurun sebelumnya, demikian seterusnya. Kemudian masing-masing kurun yang menunjukkan kesamaan atau setidaknya kecenderungan berfilsafat yang sama diberi nama-nama yang membedakan periode pertama dengan periode-periode berikutnya.
Sejarah filsafat dengan penggunaan pendekatan periodisasi sejarah ini banyak dilakukan para penulis filsafat. Umumnya sejarah filsafat di bagi ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Munitz menyebut ada empat periode besar sejarah filsafat, yaitu periode klasik (ancient period), periode pertengahan (medieval  period), periode modern (modern  period), dan periode kontemporer (contemporary  period).[2] Tulisan ini akan menggunakan periodisasi Munitz tersebut dengan menambahkan satu periode lagi, yaitu periode sebelum periode klasik, yang disebut di sini periode pra-sejarah. Periode ini untuk membari pengakuan adanya eksistensi aktivitas berfilsafat yang tak pernah sampai kepada kita karena tidak ada peninggalan tertulisnya, atau secara singkat untuk memasukkan periode berfilsafat sebelum masa Yunani yang biasa disebut sebagai periode klasik.
      1. Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah
Yang sampai pada kita tentang informasi historis mengenai filsafat dalam periode paling awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika Thales dan kawan-kawan mencoba menjawab misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cara rasional yang kemudian tradisi berpikir ini oleh Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia. Informasi ini sampai karena pikiran-pikiran mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan pemikir-pemikir semasanya waktu itu juga tidak pernah menyebut pemikirannya dengan filsafat, namun cara-cara berpikir mereka yang baru dalam mengerti dunia yang berbeda dengan cara-cara orang yang hanya mengerti dunia dengan mengikuti mitos-mitos yang ada ini oleh orang setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang disebut filsafat.
Boleh jadi orang-orang yang berpikir seperti cara-cara berpikir Thales dan kawan-kawannya juga bisa ditemukan jauh sebelum Thales dan kawan-kawannya. Sayangnya, tidak ada jejak tertulis untuk mengenali tradisi berpikir orang-orang dulu jauh sebelum era Yunani Kuno yang pantas dipayungi dengan istilah filsafat. Untuk mengapresiasi mereka dalam periodisasi sejarah filsafat, mereka perlu diberi tempat masuk dalam periode sejarah filsafat pra-sejarah. 

      2. Filsafat dalam Periode Klasik
Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya banyak disebutkan dimulai dari filosof-filosof pra-Socrates, seperti Thales, Anaximenes, Anaximander, Parmenides, Heraclitus,  Pythagoras, dan Democritos. Dari filosof-filosof pre-Socrates, kemudian diikuti filosof-filosof Yunani legendaris, seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Setelah mereka, periode klasik sejarah filsafat diakhiri dengan serentetan filsafat mulai dari neoplaonisme, epicureanisme, skeptisisme, stoisisme, dan rumusan-rumusan paling awal dari pemikiran-pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen.[3]
Oleh karena itu, sejarah filsafat periode klasik, yaitu pada jaman Yunani Kuno, sering dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi dua peiode. Ada yang menyebut Periode Klasik I dan Periode Klasik II, ada yang menamai Periode Yunani Kuno dan Yunani Setelah Klasik, dan lain sebagainya. Tulisan ini lebih suka menggunakan Yunani Periode Sebelum Socrates, Yunani Periode Trio Filosof Legendaris, dan Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
      a.       Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM)
Zaman Yunani sebelum Socrates (600-400 SM) merupakan masa pertumbuhan pemikiran filosofis yang membedakan diri dari kondisi pada saat itu yang didominasi pemikiran-pemikiran mitologis. Para filosof cenderung menawarkan pemikiran rasional yang penuh dengan argumen logis yang sebelumnya menganggap bahwa alam tercipta karena adanya dewa Apollo, atau dewa-dewa yang ada di planet lain.
Argumen yang ditawarkan para filosof masa ini cenderung menganggap alam ini berasal dari air demikian dikemukakan oleh Thales (625-545 BC)[4]. Bahkan Thales menambahkan bahwa air adalah segala sesuatu, sebab air dibutuhkan oleh semua yang ada. Air dapat diamati dalam bentuknya yang bermacam-macam. Air dapat berbentuk benda halus (uap), sebagai benda cair (air), sebagai benda keras (es). Air dapat diamati di mana-mana, di laut, di danau atau di tempat amndi bahkan di makanan sekalipun. Berbeda dengan Thales, Anaximandros (610-540 BC) mengatakan bahwa realitas terdasar bukanlah air melainkan to apeiron yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air masih ada lawannya adalah api. Api tidak mungkin berasal dari air. Oleh sebab itu to apeiron pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak terbatas. Alam terjadi dari to aperion disebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis) dari yang tidak terbatas (to apeiron), dilepas unsur-unsur yang berlawanan seperti panas dan dingin, kering dan basah dan sebagainya, selain itu juga ada hukum keseimbangan. Anaximenes (538-480 BC) berpendapat lain bahwa alam ini berasal hawa dan udara. Heraklitos (540-475 BC) mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi, segala yang ada bergerak terus menerus, bergerak secara abadi artinya perubahan adalah pangkal dari yang ada. Lain halnya Parmindes (540-475 BC) yang bertolak belakang dari Heraklitos.
Filosof-filosof awal pada periode ini mengenalkan suatu cara baru dalam memahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka adalah berpikir memahami dunia atau alam semesta dengan cara yang non-mitologis. Mereka menggunakan daya nalar rasional untuk menjelaskan alam semesta. Mereka tidak memahami alam dari luar diri manusia, seperti hanya mengambil jawaban dari mitos-mitos yang sudah ada, melainkan dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni dengan menggunakan rasio atau akal manusia itu sendiri.
      b.      Yunani Periode Trio Filosof Legendaris
Periode ini adalah masa yang terbentang antara 500-300 SM di Yunani Kuno. Era ini merupakan pola pemikiran Yunani Klasik yang sangat menonjol dari segi analisis rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh luas ke seluruh dunia karena pemikiran tiga filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates (470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Trio filosof besar diataslah yang banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa puncak filsafat Yunani dicapai pada zaman ini[5]. Banyak sekali temuan filosofis yang disumbangkan pada zaman ini antara lain Sokrates menyumbangkan tentang nilai kebaikan yang dicapai melalui pengetahuan tentang apa yang baik itu. Plato merupakan penggabung pemikiran Heraklitos dan Parminedes dan melahirkan tentang faham idealisme. Idealisme Plato menekankan tentang alam idea yang menjadi sumber dari yang tampak sebagai fenomena. Ia berkesimpulan sebenarnya realitas yang tampak itu secara empiris itu bukan merupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah apa yang ada dibalik realitas yang tampak. Plato meyakini bahwa dalam pikiran manusia terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan terpanggil kembali ketika melihat hal-hal, benda-benda, atau realitas yang bisa dipersepsi. Pengetahuan tidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada secara bawaan melalui pengamatan terhadap benda-benda atau kejadian-kejadian empiris.
Berbeda dengan Plato yang berbicara tentang sesuatu yang ada secara hakiki dalam ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan dengan pandangan gurunya. Dia cenderung mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada secara sejati, dan mengatakan bahwa benda-benda dan kejadian-kejadian ada dan terjadi secara empiris yang bisa dilpersepsi merupakan realitas-realitas yang ada secara nyata, bukan fatamorgana. Dari pemikirannya ini lahir paham realisme. Realisme merupakan paham filsafat yang mengakui bahwa yang ada secara empiris adalah ada meskipun ia tidak dipersepsi atau dipikirkan, sebagaimana nyatanya pemikiran yang menghasilkan gagasan atau ide.
Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan, karena merekalah yang memulai berpikir mikrokosmos yakni memasuki alam dan seisinya termasuk manusia. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat : Logika, Filsafat Teoritik : metafisika, fisika dan matematika, Filsafat Praktik : politik, ekonomi dan etika, serta Filsafat Poetika yakni estetika[6] . Inilah landasan ontologik ilmu pengetahuan dan sekaligus juga landasan epistimologik. Pandangan Aristoteles memetakan adanya konsep filsafat sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan.
      c.       Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh filosof-filosof berikutnya sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan pemikiran mereka. Tercatat adanya Stoisisme berbicara tentang etika, juga Epikurisme tentang etika. Selanjutnya yang paling berpengaruh adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir yang bernama asli Plotenus (205-270 BC) yang merupakan pendukung Trio Filosof. Ia cenderung mengatakan bahwa seluruh kenyataan ini merupakan suatu proses emanisasi, yang berasal dari yang Esa. Yang Esa adalah sumber dari yang ada. Konsep ini banyak dikembangkan kedalam nilai-nilai dari doktrin agama. Sebab ada relevansinya dengan kaidah agama, untuk memperkuat doktrin agama digunakan argument akal seperti yang ada dalam pandangan Neo Platonisme. Jadi ilmu pengetahuan pada saat ini bukan hanya bergerak dari masalah makrokosmos ke mikroskosmos bahkan melampaui pada hal-hal yang berada pada masalah metafisik. Zaman ini berlangsung hingga awal abad pertama masehi.
Dilihat secara sederhana, secara umum filsafat di jaman Yunani sebagai awal mulainya filsafat secara akademik memiliki setidaknya karakter-karakter berpikir seperti dijelaskan di bawah ini:
      a.       Pemahaman mitologis ke pemahaman rasional
Ciri mendasar dari filsafat pada awal kelahirannya di Yunani kuno adalah penggeseran cara memahami alam atau dunia dan realitas yang berkenaan dengan manusia dan kehidupannya dari cara pemahaman mitologis ke cara pemahaman rasional. Melawan tradisi memahami alam dan persoalannya “dari luar” manusia, yakni selalu merujuk pada kepercayaan-kepercayaan mitologis yang ada dalam masyarakat Yunani yang menyembah banyak dewa-dewi, para filosof awal mencoba untuk memahami alam dan persoalannya “dari dalam”, yakni dari kemampuan yang ada dalam diri manusia yang berupa akal.
Dengan percaya pada kemampuan rasio, mereka mencoba memberikan jawaban-jawaban spekulatif tentang asal-usul alam, tentang siapa manusia dan eksistensinya di tengah alam semesta. Pergeseran ke cara berpikir dan memahami dunia melalui kemampuan rasional manusia itu sendiri secara otonom dan independen tanpa hegemoni pengetahuan di luar manusia yang sudah ada menjadi ciri yang menonjol di periode klasik dalam sejarah filsafat ini. Munculnya cara baru ini menimbulkan ketegangan dan konflik antara masyarakat kelas dominan yang sarat dengan keyakinan mitologis-religius dan para pemikir dan kritikus yang dikenal sebagai filosof. Contoh nyata konflik ini adalah eksekusi mati filosof besar pertama Yunani, Socrates.
      b.      Akal sebagai instrument otoritatif pemahaman
Para filosof awal Yunani mengenalkan bagaimana mereka memulai untuk mempercayai akal yang ada dalam diri manusia dalam memahami misteri kehidupan manusia. Akal menjadi instrumen otoritatif pemahaman manusia dalam menjawab persoalan-persoalan manusia dalam hubungannya dengan alam dan dunia di sekitarnya. Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, bahkan Socrates sendiri meyakini dalam diri manusia terdapat kebenaran, yang ia bisa didorong termanifes keluar melalui proses dialektik, bertanya dan menjawab, bertanya dan menjawab demikian seterusnya sampai hakikat kebenaran bisa dimengerti.
Socrates menyebut cara ini dengan cara seperti seorang bidan yang membantu keluar bayi dari perut ibunya. Berpikir dialetik adalah cara membantu mengeluarkan kebenaran yang sudah ada dalam diri manusia, atau dalam akal manusia, yang kemudian cara akal menemukan kebenarannya sendiri ini populer dikenal dengan metode maieutik dialektis kritikal. Maieutika artinya kebidanan. Ibu Socrates berprofesi sebagai bidan, cara ibunya ini dipakainya untuk konteks pencarian kebenaran dalam dan melalui pikiran manusia. Dialektika berasal dari bahasa Yunani, dialegesthai yang berarti bercakap-cakap. Kritikal berarti mengajukan keberatan-keberatan yang dipandang ganjil, kontradiktif, dan tidak make sense atau masuk akal.
Dengan metode maieutik dialektis kritikal, dalam upaya menemukan hakikat kebenaran tentang sesuatu, Socrates melakukan percakapan dengan orang lain, bertanya untuk mendapatan jawaban, dan menyoal jawaban yang masih sulit untuk diterima dengan bertanya yang lebih dalam dengan berharap ada jawaban baru yang lebih bisa diterima akal, demikian seterusnya. Proses ini membantu manusia mengeluarkan kebenaran yang ada dalam jiwanya sendiri. Apa yang dilakukan Socrates yang terpenting yang perlu digarisbawahi adalah menempatkan akal sebagai alat otoritatif dalam menemukan kebenaran atau dalam memahami hakikat realitas. Cara ini telah menradisi sebelumnya dalam diri Thales, anaximenes, Pythagoras, dan lain sebagainya, dan semakin menguat sesudah Socrates.
      c.       Kosmosentrisme otonom
Filsafat Yunani awal lebih banyak berupa upaya menjawab persoalan tentang alam semesta. Para filosof mencoba menjawab asal-usul alam, bahan terdasar yang darinya alam ini tersusun, apakah hakikat gerak itu sebagaimana mereka mengamatinya sebagai fenomena alam, dan seterusnya. Seperti telah dikatakan, mereka menjawab sepenuhnya bergantung pada kekuatan akal, bukan bergantung pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dalam kepercayaan-kepercayaan mitologis masyarakatnya. Filsafat mereka bercorak sangat kosmosentris.
Coraknya secara lebih tepat disebut kosmosentrisme otonom. Kosmosentrisme karena berfilsafatnya berpusat pada persoalan alam semesta. Otonom karena dalam menjawab masalah-masalah tentang alam semesta para filosof menggunakan kekuatan pemahaman rasional dalam diri manusia, tidak mengambil pengetahuan yang sudah ada di luar pikiran manusia. Mereka berpikir independen dengan kekuatan akal manusia dalam memahami alam semesta.
3. Filsafat dalam Periode Pertengahan
Periode pertengahan dari sejarah filsafat adalah periode antara Abad ke-8 sampai dengan Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya memasukkan pemikiran filosof-filosof seperti St. Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus, William of Ockham, Maimonide, dan termasuk para filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rushd, dll.[7]
Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi dunia Kristen dan dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran (jumud) bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (The Trust is in The Church). Jadi ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi keputusan gereja, gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.
Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasan berpikir seperti yang dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak para pemikir yang dijebloskan kedalam penjara seperti Galile Galilio, Cicero adalah ilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan tidak ketinggalan adalah Copernicus seorang astronom.
Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal juga sebagai zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil dari kata Patres artinya Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para teolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus (354-430 AC). Kemudian disebut Skolastik berarti guru[8], atau sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas (1225-1274 AC) dan Bonaventura (1217-1274 AC).
      a.       Pemahaman rasional ke pemahaman dogmatis religius
Abad pertengahan sering disebut sebagai jaman agama-agama. Agama-agama telah menjadi cara pandang dunia manusia. Para filosof pada era ini memang tidak sepenuhnya menolak berpikir rasional, namun mereka tidak mempercayai kebenaran akal kecuali sejalan dengan dogma-dogma religius. Mereka menempatkan dogma religius lebih dulu daripada kebenaran rasional. Pemikiran rasional dalam periode Pertengahan dari sejarah filsafat tidak berjalan otonom dan independen, dan sebagai gantinya ia menjadi budak teologi. Salah satu karakter dasar dari filsafat Abad Tengah adalah ketiadaan kemandirian yang penuh dari akal, dia bekerja sebagai pembenar dogma-dogma agama. Pemikiran rasional digeser oleh pemahaman dogmatis religius. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana kasus Galileo yang menyuarakan kembali teori astronomi heliosentrisme harus menghadapi hujatan dan ancaman Gereja yang menetapkan teori geosentrisme sebagai kebenaran dogmatis Gereja.
b.      Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif
Fakta rasio sebagai abdi dogmatisme teologis di Abad Pertengahan telah menempatkan dogmatisme religius sebagai sebagai kebenaran otoritatif. Kebenaran rasional yang dipandang tidak bisa dipegangi mendorong para filosof menggunakan akal sebagai alat pendukung dan justifikasi atas kebenaran dogmatisme religius yang telah ditetapkan oleh para otoritas religius. Berfilsafat pada era ini adalah berteologi. Kritik terhadap dogmatisme religius merupakan suatu kesalahan. Padahal boleh jadi agamanya sendiri belum tentu mengatakan seperti yang diberikan oleh hasil pemahaman religus, yakni suatu dogmatisme religus tertentu. Kritik akal terhadap teologi tidak harus dimengerti menentang kebenaran religius, melainkan bisa dimengerti sebagai pelurusan kesalahan pemahaman religius. Namun, dalam era ini, dogimatisme religius telah menjadi ukuran kebenaran yang harus diikuti. Ini merupakan kenyataan sejarah yang tak bisa diingkari pada sejarah filsafat dan Gereja di Abad Pertengahan.
c.       Teosentrisme dan kosmosentrisme heteronom
Filsafat Abad Pertengahan yang tabu melakukan kritik terhadap teologi atau dogmatisme religius yang dipegangi saat itu telah mendorong filsafat berkarakter pembenar teologi. Seluruh realitas dijelaskan dan dibenarkan oleh dogma-dogma agama, dan filsafat hanya berusaha menguatkan kebenaran dogma-dogma agama tersebut. Dogma-dogma religius diyakini sebagai benar yang tak boleh disalahkan karena datang dari Tuhan. Filsafat di era ini, oleh karenanya dicirikan secara fundamental dengan teosentrisme, karena pusat filsafat mereka adalah teologi. Mereka juga mencoba menjawab persoalan-persoalan terkait dengan alam semesta atau kosmos seperti para filosof Yunani, hanya saja cara filosof-filosof Abad Pertengahan menjawab persoalan-persoalan tersebut tidak menggunakan rasio secara independen seperti halnya para filosof Yunani, karena mereka menjawabnya dengan menggunakan dogma-dogma religius yang ada. Kosmosentrisme pada era ini bukan bersifat otonom, melainkan heteronom, yakni menjawab misteri alam dengan menggantungkan jawabannya pada jawaban yang sudah ada di dalam dogma-dogma agama.
      4.      Filsafat dalam Periode Modern
Periode modern dari sejarah filsafat biasanya dimulai dari filosof-filosof pada Abad ke-16 sampai Abad ke-19. Periode modern mulai dari filosof-filosof Abad ke-16 seperti Francis Bacon dan Thomas Hobbes; kemudian filosof-filosof Abad- ke-17 seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, dan Leibnizt; lalu filosof-filosof Abad ke-18 seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume, dan akhirnya filosof-filosof Abad ke-19, seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche.[9] 
Filsafat modern membalikkan paradigma filsafat abad tengah, skolastisisme. Karakter dari filsafat abad pertengahan memandang alam semesta dalam logika hirarkhi wujud atau konsepsi organis tentang alam semesta ini yang berujung pada Tuhan sebagai puncak dari hirarkhi ini. Segala penyingkapan pengetahuan dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Filosof-filosof modern tidak berarti menyalahkan begitu saja proses berfilsafat seperti ini, namun yang menjadi pertanyaan besar mereka adalah ketidakterbukaannya pada cara-cara objektif dalam melihat dan mengetahui alam dan kebebasan kritis manusia dalam mengupayakan kebenaran.
Francis Bacon, misalnya, di masa kemunduran filsafat abad pertengahan, mengritik cara-cara mengetahui yang mencampuradukkan gejala-gejala alam objektif dengan kepercayaan-kepercayaan mitologis dan religius. Cara-cara ini telah membengkokkan ilmu-ilmu perbintangan dan planet-planet yang seharusnya  berupa astronomi menjadi astrologi; ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada penyelidikan empiris menjadi ilmu-ilmu alam magis. Francis Bacon menawarkan cara mengetahui alam dengan mengamati gejala-gejalanya secara induktif. Menemukan hukum-hukum alam dari alam itu sendiri, sehingga manusia bisa menguasai dan mengontrol alam; bukan memahami alam dengan mengkaitkan dengan cerita-cerita mitologis sehingga manusia di bawa pada ketakutan dan ketidakberdayaan pada alam.
Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat abad pertengahan dengan mengambil fokus pada cara-cara induktif mengetahui alam, Réné Descartes bereaksi dengan mengambil fokus pada ketiadaan kebebasan manusia dalam berpikir. Dalam memahami realitas manusia selalu dipaksa tunduk pada doktrin-doktrin pengetahuan yang sudah ada, dan seolah potensi pengetahuan dalam diri manusia sendiri tidak boleh diaktualisasikan berseberangan dengan teori-teori pengetahuan yang sudah ada. Rasionalismenya dengan slogan filosofisnya yang sangat terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, telah menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa ada bergantung pada manusia itu sendiri selama dia mau berpikir. Sejak saat itu, subjektivisme menjadi ciri filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud adalah kesadaran baru bahwa manusia adalah subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan Tuhan yang selalu menjadi pusat pembicaraan. Kebebasan berpikir berkembang dan karenanya humanisme, paham yang mencoba menggali pengertian manusia dan maksud menjadi manusia, berkembang pesat. Karena pikirannya inilah, kemudian Descartes disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Sebenarnya, Francis Bacon pun pantas disebut sebagai filsafat modern dari segi tawaran barunya dalam mengerti alam yang bukan lagi dalam logika organisisme melainkan mekanisme; yakni dari memahami alam yang hanya sekedar berupa hubungan antar wujud-wujud yang digerakkan dan dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah memahami alam dari alam secara objektif dengan mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika alam secara objektif yang ditemukan dengan cara-cara induktif.
Bocheński menggarisbawahi filsafat modern dua prinsip fundamental, yaitu mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai prinsip dari filsafat modern adalah pemahaman alam sebagaimana diinginkan oleh Francis Bacon. Yang perlu dikembangkan manusia dalam memahami alam dengan paradigma mekanisme adalah tidak lagi memperpanjang cara mengetahui alam sebagai diciptakan dan dikuasai oleh Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis dari kepercayaan-kepercayaan animistik, dan sebagai gantinya, mengatahui alam dengan melihat alam dari alam itu sendiri, belajar dari alam untuk mengerti hukum-hukum pastinya dan hidup dengannya. Subjektivisme yang dia maksudkan adalah pandangan yang mengalihkan manusia dari konsentrasi sebelumnya pada Tuhan dan menggantinya dengan manusia atau subjek sebagai pusat perhatiannya.[10]
Dengan mengamati karakter pokok dari filsafat modern yang lahir dari respon kritikal terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dasar dari filsafat modern adalah sebagai berkut:
      a.       Reformasi keagamaan
Filsafat modern tidak akan lahir jika tanpa ada gerakan internal keagamaan yang menentang hegemoni Gereja Abad Tengah. Dalam padangan para Kristiani yang melakukan gerakan protes keagamaan, Gereja tidak hanya bermasalah dengan kebebasan berpikir, kebebasan berpolitik, dan kebebasan berilmu pengetahuan, namun juga bermasalah dengan kemurnian agama Kristen itu sendiri. Gerakan protes keagamaan ini dikenal dengan gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Martin Luther King. Inti dari gerakan ini adalah purifikasi keagamaan. Kristen telah dinodai oleh Gereja penguasa waktu itu. Mereka bermaksud membongkar borok-borok praktek keagamaan Gereja waktu itu yang menurut mereka telah menyimpang dari pesan substansial dari agam Kristen. Gerakan ini kemudian memuculkan aliran keagamaan baru yang dikenal dengan Kristen Protestan.
Kritik dan protes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang hegemoni Gereja dari dalam. Gerakan reformasi keagamaan ini mengawali keruntuhan kekuasaan Gereja Abad Pertengahan yang sangat dominan. Gerakan kritik dan protes ini memberi dorongan yang kuat bagi komunitas lain selain agamawan, yaitu filosof, seniman, dan ilmuwan.
    b.  Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mengabaikan tabu-tabu yang menyelimuti perkembangan pemikiran manusia
      c.  Meningkatnya otoritas Ilmu (science
      d.  Pergeseran otoritas pemerintahan: Negara-bangsa menggantikan gereja
      e.  Pergeseran paradigma sosial: Feodalisme ke kapitalisme/labour intensive to capital intensive
      f.    Humanisme liberal/manusia sebagai fokus sentral/antroposentrisme
      g.  Akal mengkondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument objektivasi realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar & nilai

      5.      Filsafat dalam Periode Kontemporer
a.       Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain: masalah diversitas epistemologi
      b.      Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mempertimbangkan nilai lingkungan dan tradisi
      c.       Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu (science), dan sumber pengetahuan lain  
      d.      Dari nalar objektivisme-justifikatif ke nalar kritis-komunikatif
     e.       Akal dikondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument pemahaman tidak terlepas atau terkondisikan oleh realitas/diversitas-pluralitas  nalar & nilai
      f.       Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme ke multikulturalisme/nasionalisme ke internasionalisme




[1] Manuel Velasquez, Philosophy A Text with Readings, 7th ed. (Belmont, Albany, Bonn, Boston dst: Wadsworth Publishing Company, an International Thomson Publishing Company, 1999), 44-45.
[2] Milton K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1981), 1.
[3] Milton K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy, 1.
[4] Harun Hadiwjono, Sari Filsafat Barat I, (Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 1980), 16.
[5] Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1981), 36.
[6] Lihat Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat (Jakarta : Penerbit Widjaja, 1981), 12.
[7] Milton K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy,1
[8] Lihat Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat …, 38-39.
[9] Milton K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy, 1
[10] I. M. Bocheńsky, Contemporary Eurepean Philosophy, trans. Donald Nicoll and Karl Aschenbrenner (Berkeley and Los Angeles: the University of California Press, 1957), 2.