Jumat, 23 Februari 2018

RI Bisa Bebas Utang, Ini Syarat dari Menteri Terbaik Dunia


Menkeu Sri Mulyani

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia saat ini masih menganut kebijakan ekspansif, yakni belanja atau pengeluaran lebih besar daripada penerimaan negara. Akibatnya terjadi defisit fiskal yang harus dibiayai dari utang.
Sri Mulyani mengatakan Indonesia memiliki kemampuan untuk berhenti meminjam atau berutang. Akan tetapi ada syarat yang harus dipenuhi jika negara ini tidak lagi mengandalkan utang untuk menggerakkan ekonomi Indonesia.
“Banyak yang menanyakan, kapan Bu kita berhenti pinjam? Saya akan berhenti pinjam kalau pendapatan kita lebih dari belanja,” tegas Sri Mulyani seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, Jakarta, seperti ditulis Minggu (19/2/2017).
Sebagai negara yang terus melakukan pembangunan, kata Sri Mulyani Indonesia membutuhkan anggaran belanja infrastruktur yang tinggi. “Dan untuk membangun, penerimaan itu tidak datang dari langit,” tambah dia.
Sekarang ini, Sri Mulyani melanjutkan pemerintah terus berupaya memperbaiki rasio pajak (tax ratio) untuk meningkatkan pendapatan. Tax ratio sebagai indikator jumlah pembayar pajak masih tergolong rendah dikisaran 11 persen. Ini berarti masih besar peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak.
“Jadi, jangan lupa bayar pajak ya,” pinta Sri Mulyani.
Direktur Strategi dan Portofolio Utang DJPPR Kementerian Keuangan Schneider Siahaan sebelumnya pernah menyampaikan, bebas dari utang bukanlah hal yang mustahil bagi Indonesia. "Kita bebas dari utang? Bisa saja lah," ujar Schneider.
Akan tetapi, menurut Schneider, ada syarat supaya Indonesia terbebas dari utang, bahkan tidak berutang lagi kepada negara lain maupun lembaga-lembaga internasional. Salah satunya meningkatkan pendapatan per kapita.
"Kita tidak usah ngutang lagi kalau pendapatan per kapita kita sudah tinggi. Misalnya di atas US$ 10 ribu selevel China, atau US$ 30 ribu kayak Eropa. Sekarang pendapatan per kapita kita baru US$ 3.000 atau sekitar Rp 40 juta per tahun atau rata-rata Rp 3 jutaan per bulan," jelas dia.
Schneider menilai, utang bukan merupakan tujuan, namun instrumen untuk mencapai tujuan bernegara mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
"Utang itu instrumen bukan tujuan. Pertanyaannya, kita lebih senang mana punya utang yang bisa dibayar dan utang bisa menghasilkan penghasilan yang layak, daripada kita tidak punya utang tapi hidup pas-pasan. Jadi asal utang produktif, bisa bayar utang, kan tenang-tenang saja," dia memaparkan.

Sumber : Liputan6.com

Selasa, 20 Februari 2018

Sejarah Perkembangan Filsafat


Hasil gambar untuk gambar filsafat

Sejarah filsafat barangkali sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Filsafat tidak bisa dipahami lepas dari sejarahnya. Filsafat muncul dan berkembang dalam historisitas. Sejarah filsafat merupakan panggung kontestasi filsafat yang darinya dinamika pengertian dan bisa jadi makna substantif filsafat pada akhirnya bisa garisbawahi.  Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengerti filsafat adalah dengan cara memahami dinamika maknanya dalam perkembangan sejarahnya. Tidak cukup mengetahui filsafat dari filosof, tetapi juga dari sejarah yang menjadi saksi dan sekaligus konteks bagi filsafat mementaskan dan juga menampakkan makna dirinya. Oleh karena itu pada bagian ini, disampaikan pengenalan awal tentang sejarah filsafat, kapan sebenarnya filsafat itu pertama kali muncul di planet biru ini, dan bagaimana mengerti secara filsafat dengan cara yang paling sederhana. Yang pertama akan dijelaskan dalam subjudul penyoalan asal-usul filsafat dalam makna hakikinya, dan yang kedua diurai di bawah subjudul periodesasi sejarah filsafat sebagai pendekatan penyederhanaan pemahaman sejarah filsafat.

      A. Persoalan Asal-Usul Filsafat
Asal-usul filsafat, dalam pengertian cara-cara baru berpikir yang diberi nama filsafat pertama kali dibuat dan menjadi tradisi besar dan berpengaruh, mulai dari peradaban Yunani Kuno. Asal-usul filsafat dalam pengertian ini biasanya lebih tepat asal-usul filsafat Barat, yang bermula dari Yunani Kuno sekitar Abad ke-7 dan ke-6 SM ketika Anaximandros, Anaximenes, Thales dan lain sebagainya disebut-sebut sebagai pemikir-pemikir generasi awal yang disebut secara embrional dipandang sebagai cikal-bakal filsafat berawal dan tumbuh hingga dewasa ini. Pythagoras disebut-sebut sebagai pemikir pertama yang menyebut model berpikir Thales dan kawan-kawannya itu dengan filsafat. Tetapi jika dari sudut pandang cara-cara yang dipakai Thales dan kawan-kawan, yaitu cara dari dalam diri manusia memahami realitas atau alam, yang dipandang secara awal-mula filsafat, sebenarnya cara-cara berpikir yang mirip dengan mereka sudah ada jauh sebelumnya, misalnya di India.
Pada tahun 1500 – 700 SM, di India, di tengah-tengah usaha memahami realitas atau alam ini secara mistis dan religius, menurut Velasques, ada cara-cara baru dalam memahami realitas atau alam seperti bisa ditemui dalam himne-himne dalam Veda-veda karya para penulis dan pemikir India yang umumnya tidak diketahui. Cara-cara memahami realitas atau alam adalah upaya mendeskripsikan asal-usul alam semesta dalam istilah-istilah mistis, namun dalam saat yang sama juga menggambarkan cara-cara yang nonmistis dan dekat dengan terma-terma filsofis sebagaimana kita kenal sekarang, misalnya, tentang eksplanasi Yang Satu yang dipahami yang bukan eksistensi ataupun noneksistensi, yang tidak di bumi dan tidak dilangit, pendeknya yang takterbedakan dan taktergambarkan. Mereka berfilsafat tentang hakikat realitas mutlak. Dalam Uphanishad, tulisan-tulisan yang kemudian ditambahkan dalam Veda, kita bisa menemukan upaya-upaya pertma para pemikir India memahami realitas mutlak dalam terma-terma filsofis.[1]
Filsafat dalam pengertian hakikinya, tanpa harus bernama filsafat, yaitu sebagai upaya mengerti secara rasional tentang dunia luar dan dunia dalam manusia, barangkali tidak bisa hanya disebut bermula dari masyarakat India, Mesir, Yunani atau yang lainnya. Kata-kata yang bijak untuk mengatakan asal-usul filsafat yang sesungguhnya, tanpa terjebak pada istilah, adalah semenjak manusia itu ada. Sejak manusia ada, berfilsafat atau sebut saja berpikir mendalam dan mendasar mengenai realitas barangkali telah menjadi bagian dari hidup manusia itu, meski mungkin pengertian filsafatnya tidak sedalam yang bisa dimengerti orang di jaman sekarang. Tidak bijak kiranya mengatakan bahwa berfilsafat hanya mungkin dimengerti orang setelah sekian masa perjalanan umat manusia. Tidak bijak kalau kita bilang, orang-orang primitif tidak mungkin bisa berfilsafat, hanya orang setelah jaman filosof-filosof Yunani saja yang bisa berfilsafat. Berfilsafat adalah bagian cari cara hidup manusia dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya, dan awal-mula filsafat, dalam makna hakikinya tanpa melihat namanya karena sebelum ada nama filsafat orang sudah berfilsafat, adalah pertama kali manusia ada.

B. Periodesasi Sejarah Filsafat sebagai Pendekatan Penyederhanaan Pemahaman Sejarah Filsafat
Penulisan sejarah ideal tentang sejarah filsafat mestinya mencakup seluruh pikiran semua filosof yang ada dalam sejarah hidup manusia. Jika mengikuti sejarah ideal tentang filsafat ini, tentu tulisan yang akan dihasilkan membutuhkan banyak waktu dan tidak cukup hanya ratusan atau ribuan jilid buku. Di antara mereka yang mencoba memasuki penulisan sejarah filsafat ideal ini adalah Copleston. Dia mencoba menulis tentang sejarah filsafat dari awal sejak filsafat pada masanya, dan hasilnya adalah buku sejarah filsafat yang berjumlah …. Jilid?
Dalam bagian ini kita hanya akan mencoba memahami sejarah filsafat dengan cara yang sangat sederhana dan serba ringkas, karena yang penting kita setidaknya bisa mengerti sejarah filsafat secara sekilas dengan karakter-karekter dasar berfilsafatnya. Salah satu cara melakukan penyederhanaan pemahaman tentang sejarah filsafat adalal melalui pendekatan periodisasi sejarah filsafat. Yang dimaksudkan pendekatan periodisasi sejarah filsafat adalah upaya menemukan ciri-ciri fundamental pemikiran filosofis yang sama dilakukan oleh para filosof dalam kurun waktu tertentu, dan di kurun waktu berikutnya bisa ditemukan tanda perubahan ciri-ciri fundamental pemikiran filsofis yang berbeda yang menunjukkan kontinuitas kritisnya terhadap kurun sebelumnya, demikian seterusnya. Kemudian masing-masing kurun yang menunjukkan kesamaan atau setidaknya kecenderungan berfilsafat yang sama diberi nama-nama yang membedakan periode pertama dengan periode-periode berikutnya.
Sejarah filsafat dengan penggunaan pendekatan periodisasi sejarah ini banyak dilakukan para penulis filsafat. Umumnya sejarah filsafat di bagi ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Munitz menyebut ada empat periode besar sejarah filsafat, yaitu periode klasik (ancient period), periode pertengahan (medieval  period), periode modern (modern  period), dan periode kontemporer (contemporary  period).[2] Tulisan ini akan menggunakan periodisasi Munitz tersebut dengan menambahkan satu periode lagi, yaitu periode sebelum periode klasik, yang disebut di sini periode pra-sejarah. Periode ini untuk membari pengakuan adanya eksistensi aktivitas berfilsafat yang tak pernah sampai kepada kita karena tidak ada peninggalan tertulisnya, atau secara singkat untuk memasukkan periode berfilsafat sebelum masa Yunani yang biasa disebut sebagai periode klasik.
      1. Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah
Yang sampai pada kita tentang informasi historis mengenai filsafat dalam periode paling awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika Thales dan kawan-kawan mencoba menjawab misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cara rasional yang kemudian tradisi berpikir ini oleh Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia. Informasi ini sampai karena pikiran-pikiran mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan pemikir-pemikir semasanya waktu itu juga tidak pernah menyebut pemikirannya dengan filsafat, namun cara-cara berpikir mereka yang baru dalam mengerti dunia yang berbeda dengan cara-cara orang yang hanya mengerti dunia dengan mengikuti mitos-mitos yang ada ini oleh orang setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang disebut filsafat.
Boleh jadi orang-orang yang berpikir seperti cara-cara berpikir Thales dan kawan-kawannya juga bisa ditemukan jauh sebelum Thales dan kawan-kawannya. Sayangnya, tidak ada jejak tertulis untuk mengenali tradisi berpikir orang-orang dulu jauh sebelum era Yunani Kuno yang pantas dipayungi dengan istilah filsafat. Untuk mengapresiasi mereka dalam periodisasi sejarah filsafat, mereka perlu diberi tempat masuk dalam periode sejarah filsafat pra-sejarah. 

      2. Filsafat dalam Periode Klasik
Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya banyak disebutkan dimulai dari filosof-filosof pra-Socrates, seperti Thales, Anaximenes, Anaximander, Parmenides, Heraclitus,  Pythagoras, dan Democritos. Dari filosof-filosof pre-Socrates, kemudian diikuti filosof-filosof Yunani legendaris, seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Setelah mereka, periode klasik sejarah filsafat diakhiri dengan serentetan filsafat mulai dari neoplaonisme, epicureanisme, skeptisisme, stoisisme, dan rumusan-rumusan paling awal dari pemikiran-pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen.[3]
Oleh karena itu, sejarah filsafat periode klasik, yaitu pada jaman Yunani Kuno, sering dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi dua peiode. Ada yang menyebut Periode Klasik I dan Periode Klasik II, ada yang menamai Periode Yunani Kuno dan Yunani Setelah Klasik, dan lain sebagainya. Tulisan ini lebih suka menggunakan Yunani Periode Sebelum Socrates, Yunani Periode Trio Filosof Legendaris, dan Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
      a.       Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM)
Zaman Yunani sebelum Socrates (600-400 SM) merupakan masa pertumbuhan pemikiran filosofis yang membedakan diri dari kondisi pada saat itu yang didominasi pemikiran-pemikiran mitologis. Para filosof cenderung menawarkan pemikiran rasional yang penuh dengan argumen logis yang sebelumnya menganggap bahwa alam tercipta karena adanya dewa Apollo, atau dewa-dewa yang ada di planet lain.
Argumen yang ditawarkan para filosof masa ini cenderung menganggap alam ini berasal dari air demikian dikemukakan oleh Thales (625-545 BC)[4]. Bahkan Thales menambahkan bahwa air adalah segala sesuatu, sebab air dibutuhkan oleh semua yang ada. Air dapat diamati dalam bentuknya yang bermacam-macam. Air dapat berbentuk benda halus (uap), sebagai benda cair (air), sebagai benda keras (es). Air dapat diamati di mana-mana, di laut, di danau atau di tempat amndi bahkan di makanan sekalipun. Berbeda dengan Thales, Anaximandros (610-540 BC) mengatakan bahwa realitas terdasar bukanlah air melainkan to apeiron yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air masih ada lawannya adalah api. Api tidak mungkin berasal dari air. Oleh sebab itu to apeiron pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak terbatas. Alam terjadi dari to aperion disebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis) dari yang tidak terbatas (to apeiron), dilepas unsur-unsur yang berlawanan seperti panas dan dingin, kering dan basah dan sebagainya, selain itu juga ada hukum keseimbangan. Anaximenes (538-480 BC) berpendapat lain bahwa alam ini berasal hawa dan udara. Heraklitos (540-475 BC) mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi, segala yang ada bergerak terus menerus, bergerak secara abadi artinya perubahan adalah pangkal dari yang ada. Lain halnya Parmindes (540-475 BC) yang bertolak belakang dari Heraklitos.
Filosof-filosof awal pada periode ini mengenalkan suatu cara baru dalam memahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka adalah berpikir memahami dunia atau alam semesta dengan cara yang non-mitologis. Mereka menggunakan daya nalar rasional untuk menjelaskan alam semesta. Mereka tidak memahami alam dari luar diri manusia, seperti hanya mengambil jawaban dari mitos-mitos yang sudah ada, melainkan dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni dengan menggunakan rasio atau akal manusia itu sendiri.
      b.      Yunani Periode Trio Filosof Legendaris
Periode ini adalah masa yang terbentang antara 500-300 SM di Yunani Kuno. Era ini merupakan pola pemikiran Yunani Klasik yang sangat menonjol dari segi analisis rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh luas ke seluruh dunia karena pemikiran tiga filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates (470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Trio filosof besar diataslah yang banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa puncak filsafat Yunani dicapai pada zaman ini[5]. Banyak sekali temuan filosofis yang disumbangkan pada zaman ini antara lain Sokrates menyumbangkan tentang nilai kebaikan yang dicapai melalui pengetahuan tentang apa yang baik itu. Plato merupakan penggabung pemikiran Heraklitos dan Parminedes dan melahirkan tentang faham idealisme. Idealisme Plato menekankan tentang alam idea yang menjadi sumber dari yang tampak sebagai fenomena. Ia berkesimpulan sebenarnya realitas yang tampak itu secara empiris itu bukan merupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah apa yang ada dibalik realitas yang tampak. Plato meyakini bahwa dalam pikiran manusia terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan terpanggil kembali ketika melihat hal-hal, benda-benda, atau realitas yang bisa dipersepsi. Pengetahuan tidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada secara bawaan melalui pengamatan terhadap benda-benda atau kejadian-kejadian empiris.
Berbeda dengan Plato yang berbicara tentang sesuatu yang ada secara hakiki dalam ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan dengan pandangan gurunya. Dia cenderung mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada secara sejati, dan mengatakan bahwa benda-benda dan kejadian-kejadian ada dan terjadi secara empiris yang bisa dilpersepsi merupakan realitas-realitas yang ada secara nyata, bukan fatamorgana. Dari pemikirannya ini lahir paham realisme. Realisme merupakan paham filsafat yang mengakui bahwa yang ada secara empiris adalah ada meskipun ia tidak dipersepsi atau dipikirkan, sebagaimana nyatanya pemikiran yang menghasilkan gagasan atau ide.
Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan, karena merekalah yang memulai berpikir mikrokosmos yakni memasuki alam dan seisinya termasuk manusia. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat : Logika, Filsafat Teoritik : metafisika, fisika dan matematika, Filsafat Praktik : politik, ekonomi dan etika, serta Filsafat Poetika yakni estetika[6] . Inilah landasan ontologik ilmu pengetahuan dan sekaligus juga landasan epistimologik. Pandangan Aristoteles memetakan adanya konsep filsafat sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan.
      c.       Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh filosof-filosof berikutnya sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan pemikiran mereka. Tercatat adanya Stoisisme berbicara tentang etika, juga Epikurisme tentang etika. Selanjutnya yang paling berpengaruh adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir yang bernama asli Plotenus (205-270 BC) yang merupakan pendukung Trio Filosof. Ia cenderung mengatakan bahwa seluruh kenyataan ini merupakan suatu proses emanisasi, yang berasal dari yang Esa. Yang Esa adalah sumber dari yang ada. Konsep ini banyak dikembangkan kedalam nilai-nilai dari doktrin agama. Sebab ada relevansinya dengan kaidah agama, untuk memperkuat doktrin agama digunakan argument akal seperti yang ada dalam pandangan Neo Platonisme. Jadi ilmu pengetahuan pada saat ini bukan hanya bergerak dari masalah makrokosmos ke mikroskosmos bahkan melampaui pada hal-hal yang berada pada masalah metafisik. Zaman ini berlangsung hingga awal abad pertama masehi.
Dilihat secara sederhana, secara umum filsafat di jaman Yunani sebagai awal mulainya filsafat secara akademik memiliki setidaknya karakter-karakter berpikir seperti dijelaskan di bawah ini:
      a.       Pemahaman mitologis ke pemahaman rasional
Ciri mendasar dari filsafat pada awal kelahirannya di Yunani kuno adalah penggeseran cara memahami alam atau dunia dan realitas yang berkenaan dengan manusia dan kehidupannya dari cara pemahaman mitologis ke cara pemahaman rasional. Melawan tradisi memahami alam dan persoalannya “dari luar” manusia, yakni selalu merujuk pada kepercayaan-kepercayaan mitologis yang ada dalam masyarakat Yunani yang menyembah banyak dewa-dewi, para filosof awal mencoba untuk memahami alam dan persoalannya “dari dalam”, yakni dari kemampuan yang ada dalam diri manusia yang berupa akal.
Dengan percaya pada kemampuan rasio, mereka mencoba memberikan jawaban-jawaban spekulatif tentang asal-usul alam, tentang siapa manusia dan eksistensinya di tengah alam semesta. Pergeseran ke cara berpikir dan memahami dunia melalui kemampuan rasional manusia itu sendiri secara otonom dan independen tanpa hegemoni pengetahuan di luar manusia yang sudah ada menjadi ciri yang menonjol di periode klasik dalam sejarah filsafat ini. Munculnya cara baru ini menimbulkan ketegangan dan konflik antara masyarakat kelas dominan yang sarat dengan keyakinan mitologis-religius dan para pemikir dan kritikus yang dikenal sebagai filosof. Contoh nyata konflik ini adalah eksekusi mati filosof besar pertama Yunani, Socrates.
      b.      Akal sebagai instrument otoritatif pemahaman
Para filosof awal Yunani mengenalkan bagaimana mereka memulai untuk mempercayai akal yang ada dalam diri manusia dalam memahami misteri kehidupan manusia. Akal menjadi instrumen otoritatif pemahaman manusia dalam menjawab persoalan-persoalan manusia dalam hubungannya dengan alam dan dunia di sekitarnya. Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, bahkan Socrates sendiri meyakini dalam diri manusia terdapat kebenaran, yang ia bisa didorong termanifes keluar melalui proses dialektik, bertanya dan menjawab, bertanya dan menjawab demikian seterusnya sampai hakikat kebenaran bisa dimengerti.
Socrates menyebut cara ini dengan cara seperti seorang bidan yang membantu keluar bayi dari perut ibunya. Berpikir dialetik adalah cara membantu mengeluarkan kebenaran yang sudah ada dalam diri manusia, atau dalam akal manusia, yang kemudian cara akal menemukan kebenarannya sendiri ini populer dikenal dengan metode maieutik dialektis kritikal. Maieutika artinya kebidanan. Ibu Socrates berprofesi sebagai bidan, cara ibunya ini dipakainya untuk konteks pencarian kebenaran dalam dan melalui pikiran manusia. Dialektika berasal dari bahasa Yunani, dialegesthai yang berarti bercakap-cakap. Kritikal berarti mengajukan keberatan-keberatan yang dipandang ganjil, kontradiktif, dan tidak make sense atau masuk akal.
Dengan metode maieutik dialektis kritikal, dalam upaya menemukan hakikat kebenaran tentang sesuatu, Socrates melakukan percakapan dengan orang lain, bertanya untuk mendapatan jawaban, dan menyoal jawaban yang masih sulit untuk diterima dengan bertanya yang lebih dalam dengan berharap ada jawaban baru yang lebih bisa diterima akal, demikian seterusnya. Proses ini membantu manusia mengeluarkan kebenaran yang ada dalam jiwanya sendiri. Apa yang dilakukan Socrates yang terpenting yang perlu digarisbawahi adalah menempatkan akal sebagai alat otoritatif dalam menemukan kebenaran atau dalam memahami hakikat realitas. Cara ini telah menradisi sebelumnya dalam diri Thales, anaximenes, Pythagoras, dan lain sebagainya, dan semakin menguat sesudah Socrates.
      c.       Kosmosentrisme otonom
Filsafat Yunani awal lebih banyak berupa upaya menjawab persoalan tentang alam semesta. Para filosof mencoba menjawab asal-usul alam, bahan terdasar yang darinya alam ini tersusun, apakah hakikat gerak itu sebagaimana mereka mengamatinya sebagai fenomena alam, dan seterusnya. Seperti telah dikatakan, mereka menjawab sepenuhnya bergantung pada kekuatan akal, bukan bergantung pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dalam kepercayaan-kepercayaan mitologis masyarakatnya. Filsafat mereka bercorak sangat kosmosentris.
Coraknya secara lebih tepat disebut kosmosentrisme otonom. Kosmosentrisme karena berfilsafatnya berpusat pada persoalan alam semesta. Otonom karena dalam menjawab masalah-masalah tentang alam semesta para filosof menggunakan kekuatan pemahaman rasional dalam diri manusia, tidak mengambil pengetahuan yang sudah ada di luar pikiran manusia. Mereka berpikir independen dengan kekuatan akal manusia dalam memahami alam semesta.
3. Filsafat dalam Periode Pertengahan
Periode pertengahan dari sejarah filsafat adalah periode antara Abad ke-8 sampai dengan Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya memasukkan pemikiran filosof-filosof seperti St. Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus, William of Ockham, Maimonide, dan termasuk para filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rushd, dll.[7]
Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi dunia Kristen dan dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran (jumud) bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (The Trust is in The Church). Jadi ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi keputusan gereja, gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.
Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasan berpikir seperti yang dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak para pemikir yang dijebloskan kedalam penjara seperti Galile Galilio, Cicero adalah ilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan tidak ketinggalan adalah Copernicus seorang astronom.
Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal juga sebagai zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil dari kata Patres artinya Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para teolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus (354-430 AC). Kemudian disebut Skolastik berarti guru[8], atau sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas (1225-1274 AC) dan Bonaventura (1217-1274 AC).
      a.       Pemahaman rasional ke pemahaman dogmatis religius
Abad pertengahan sering disebut sebagai jaman agama-agama. Agama-agama telah menjadi cara pandang dunia manusia. Para filosof pada era ini memang tidak sepenuhnya menolak berpikir rasional, namun mereka tidak mempercayai kebenaran akal kecuali sejalan dengan dogma-dogma religius. Mereka menempatkan dogma religius lebih dulu daripada kebenaran rasional. Pemikiran rasional dalam periode Pertengahan dari sejarah filsafat tidak berjalan otonom dan independen, dan sebagai gantinya ia menjadi budak teologi. Salah satu karakter dasar dari filsafat Abad Tengah adalah ketiadaan kemandirian yang penuh dari akal, dia bekerja sebagai pembenar dogma-dogma agama. Pemikiran rasional digeser oleh pemahaman dogmatis religius. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana kasus Galileo yang menyuarakan kembali teori astronomi heliosentrisme harus menghadapi hujatan dan ancaman Gereja yang menetapkan teori geosentrisme sebagai kebenaran dogmatis Gereja.
b.      Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif
Fakta rasio sebagai abdi dogmatisme teologis di Abad Pertengahan telah menempatkan dogmatisme religius sebagai sebagai kebenaran otoritatif. Kebenaran rasional yang dipandang tidak bisa dipegangi mendorong para filosof menggunakan akal sebagai alat pendukung dan justifikasi atas kebenaran dogmatisme religius yang telah ditetapkan oleh para otoritas religius. Berfilsafat pada era ini adalah berteologi. Kritik terhadap dogmatisme religius merupakan suatu kesalahan. Padahal boleh jadi agamanya sendiri belum tentu mengatakan seperti yang diberikan oleh hasil pemahaman religus, yakni suatu dogmatisme religus tertentu. Kritik akal terhadap teologi tidak harus dimengerti menentang kebenaran religius, melainkan bisa dimengerti sebagai pelurusan kesalahan pemahaman religius. Namun, dalam era ini, dogimatisme religius telah menjadi ukuran kebenaran yang harus diikuti. Ini merupakan kenyataan sejarah yang tak bisa diingkari pada sejarah filsafat dan Gereja di Abad Pertengahan.
c.       Teosentrisme dan kosmosentrisme heteronom
Filsafat Abad Pertengahan yang tabu melakukan kritik terhadap teologi atau dogmatisme religius yang dipegangi saat itu telah mendorong filsafat berkarakter pembenar teologi. Seluruh realitas dijelaskan dan dibenarkan oleh dogma-dogma agama, dan filsafat hanya berusaha menguatkan kebenaran dogma-dogma agama tersebut. Dogma-dogma religius diyakini sebagai benar yang tak boleh disalahkan karena datang dari Tuhan. Filsafat di era ini, oleh karenanya dicirikan secara fundamental dengan teosentrisme, karena pusat filsafat mereka adalah teologi. Mereka juga mencoba menjawab persoalan-persoalan terkait dengan alam semesta atau kosmos seperti para filosof Yunani, hanya saja cara filosof-filosof Abad Pertengahan menjawab persoalan-persoalan tersebut tidak menggunakan rasio secara independen seperti halnya para filosof Yunani, karena mereka menjawabnya dengan menggunakan dogma-dogma religius yang ada. Kosmosentrisme pada era ini bukan bersifat otonom, melainkan heteronom, yakni menjawab misteri alam dengan menggantungkan jawabannya pada jawaban yang sudah ada di dalam dogma-dogma agama.
      4.      Filsafat dalam Periode Modern
Periode modern dari sejarah filsafat biasanya dimulai dari filosof-filosof pada Abad ke-16 sampai Abad ke-19. Periode modern mulai dari filosof-filosof Abad ke-16 seperti Francis Bacon dan Thomas Hobbes; kemudian filosof-filosof Abad- ke-17 seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, dan Leibnizt; lalu filosof-filosof Abad ke-18 seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume, dan akhirnya filosof-filosof Abad ke-19, seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche.[9] 
Filsafat modern membalikkan paradigma filsafat abad tengah, skolastisisme. Karakter dari filsafat abad pertengahan memandang alam semesta dalam logika hirarkhi wujud atau konsepsi organis tentang alam semesta ini yang berujung pada Tuhan sebagai puncak dari hirarkhi ini. Segala penyingkapan pengetahuan dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Filosof-filosof modern tidak berarti menyalahkan begitu saja proses berfilsafat seperti ini, namun yang menjadi pertanyaan besar mereka adalah ketidakterbukaannya pada cara-cara objektif dalam melihat dan mengetahui alam dan kebebasan kritis manusia dalam mengupayakan kebenaran.
Francis Bacon, misalnya, di masa kemunduran filsafat abad pertengahan, mengritik cara-cara mengetahui yang mencampuradukkan gejala-gejala alam objektif dengan kepercayaan-kepercayaan mitologis dan religius. Cara-cara ini telah membengkokkan ilmu-ilmu perbintangan dan planet-planet yang seharusnya  berupa astronomi menjadi astrologi; ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada penyelidikan empiris menjadi ilmu-ilmu alam magis. Francis Bacon menawarkan cara mengetahui alam dengan mengamati gejala-gejalanya secara induktif. Menemukan hukum-hukum alam dari alam itu sendiri, sehingga manusia bisa menguasai dan mengontrol alam; bukan memahami alam dengan mengkaitkan dengan cerita-cerita mitologis sehingga manusia di bawa pada ketakutan dan ketidakberdayaan pada alam.
Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat abad pertengahan dengan mengambil fokus pada cara-cara induktif mengetahui alam, Réné Descartes bereaksi dengan mengambil fokus pada ketiadaan kebebasan manusia dalam berpikir. Dalam memahami realitas manusia selalu dipaksa tunduk pada doktrin-doktrin pengetahuan yang sudah ada, dan seolah potensi pengetahuan dalam diri manusia sendiri tidak boleh diaktualisasikan berseberangan dengan teori-teori pengetahuan yang sudah ada. Rasionalismenya dengan slogan filosofisnya yang sangat terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, telah menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa ada bergantung pada manusia itu sendiri selama dia mau berpikir. Sejak saat itu, subjektivisme menjadi ciri filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud adalah kesadaran baru bahwa manusia adalah subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan Tuhan yang selalu menjadi pusat pembicaraan. Kebebasan berpikir berkembang dan karenanya humanisme, paham yang mencoba menggali pengertian manusia dan maksud menjadi manusia, berkembang pesat. Karena pikirannya inilah, kemudian Descartes disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Sebenarnya, Francis Bacon pun pantas disebut sebagai filsafat modern dari segi tawaran barunya dalam mengerti alam yang bukan lagi dalam logika organisisme melainkan mekanisme; yakni dari memahami alam yang hanya sekedar berupa hubungan antar wujud-wujud yang digerakkan dan dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah memahami alam dari alam secara objektif dengan mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika alam secara objektif yang ditemukan dengan cara-cara induktif.
Bocheński menggarisbawahi filsafat modern dua prinsip fundamental, yaitu mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai prinsip dari filsafat modern adalah pemahaman alam sebagaimana diinginkan oleh Francis Bacon. Yang perlu dikembangkan manusia dalam memahami alam dengan paradigma mekanisme adalah tidak lagi memperpanjang cara mengetahui alam sebagai diciptakan dan dikuasai oleh Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis dari kepercayaan-kepercayaan animistik, dan sebagai gantinya, mengatahui alam dengan melihat alam dari alam itu sendiri, belajar dari alam untuk mengerti hukum-hukum pastinya dan hidup dengannya. Subjektivisme yang dia maksudkan adalah pandangan yang mengalihkan manusia dari konsentrasi sebelumnya pada Tuhan dan menggantinya dengan manusia atau subjek sebagai pusat perhatiannya.[10]
Dengan mengamati karakter pokok dari filsafat modern yang lahir dari respon kritikal terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dasar dari filsafat modern adalah sebagai berkut:
      a.       Reformasi keagamaan
Filsafat modern tidak akan lahir jika tanpa ada gerakan internal keagamaan yang menentang hegemoni Gereja Abad Tengah. Dalam padangan para Kristiani yang melakukan gerakan protes keagamaan, Gereja tidak hanya bermasalah dengan kebebasan berpikir, kebebasan berpolitik, dan kebebasan berilmu pengetahuan, namun juga bermasalah dengan kemurnian agama Kristen itu sendiri. Gerakan protes keagamaan ini dikenal dengan gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Martin Luther King. Inti dari gerakan ini adalah purifikasi keagamaan. Kristen telah dinodai oleh Gereja penguasa waktu itu. Mereka bermaksud membongkar borok-borok praktek keagamaan Gereja waktu itu yang menurut mereka telah menyimpang dari pesan substansial dari agam Kristen. Gerakan ini kemudian memuculkan aliran keagamaan baru yang dikenal dengan Kristen Protestan.
Kritik dan protes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang hegemoni Gereja dari dalam. Gerakan reformasi keagamaan ini mengawali keruntuhan kekuasaan Gereja Abad Pertengahan yang sangat dominan. Gerakan kritik dan protes ini memberi dorongan yang kuat bagi komunitas lain selain agamawan, yaitu filosof, seniman, dan ilmuwan.
    b.  Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mengabaikan tabu-tabu yang menyelimuti perkembangan pemikiran manusia
      c.  Meningkatnya otoritas Ilmu (science
      d.  Pergeseran otoritas pemerintahan: Negara-bangsa menggantikan gereja
      e.  Pergeseran paradigma sosial: Feodalisme ke kapitalisme/labour intensive to capital intensive
      f.    Humanisme liberal/manusia sebagai fokus sentral/antroposentrisme
      g.  Akal mengkondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument objektivasi realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar & nilai

      5.      Filsafat dalam Periode Kontemporer
a.       Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain: masalah diversitas epistemologi
      b.      Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mempertimbangkan nilai lingkungan dan tradisi
      c.       Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu (science), dan sumber pengetahuan lain  
      d.      Dari nalar objektivisme-justifikatif ke nalar kritis-komunikatif
     e.       Akal dikondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument pemahaman tidak terlepas atau terkondisikan oleh realitas/diversitas-pluralitas  nalar & nilai
      f.       Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme ke multikulturalisme/nasionalisme ke internasionalisme




[1] Manuel Velasquez, Philosophy A Text with Readings, 7th ed. (Belmont, Albany, Bonn, Boston dst: Wadsworth Publishing Company, an International Thomson Publishing Company, 1999), 44-45.
[2] Milton K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1981), 1.
[3] Milton K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy, 1.
[4] Harun Hadiwjono, Sari Filsafat Barat I, (Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 1980), 16.
[5] Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1981), 36.
[6] Lihat Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat (Jakarta : Penerbit Widjaja, 1981), 12.
[7] Milton K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy,1
[8] Lihat Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat …, 38-39.
[9] Milton K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy, 1
[10] I. M. Bocheńsky, Contemporary Eurepean Philosophy, trans. Donald Nicoll and Karl Aschenbrenner (Berkeley and Los Angeles: the University of California Press, 1957), 2.

Pengertian Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu Dari beberapa Tokoh. dan Ruang Lingkupnya

1. Pengertian FILSAFAT
menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut:
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.

Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.

Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
Notonegoro : Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan“.
Sidi Gazalba : Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
Harold H. Titus (1979 ) : (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
Hasbullah Bakry : Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.

2. Pengertian ILMU
# M. IZUDDIN TAUFIQ
Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal usulnya
# THOMAS KUHN
Ilmu adalah himpunan aktivitas yang menghasilkan banyak penemuan, bail dalam bentuk penolakan maupun pengembangannya
# Dr. MAURICE BUCAILLE
Ilmu adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal, baik dalam jangka waktu yang lama maupun sebentar.
# NS. ASMADI
Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang padat dan proses mengetahui melalui penyelidikan yang sistematis dan terkendali (metode ilmiah)
# POESPOPRODJO
Ilmu adalah proses perbaikan diri secara bersinambungan yang meliputi perkembangan teori dan uji empiris

3. Definisi Filsafat Ilmu
1. Robert Ackermann
Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingn terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu demikian bukan suatu cabang yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya.
2. Peter Caws
Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia.
3. Lewis White Beck
Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
4. John Macmurray
Filsafat ilmu terutama bersangkutan dengan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-pandangan umum, prasangka-prasangka alamiah yang terkandung dalam asumsi-asumsi ilmu atau yang berasal dari keasyikan dengan ilmu.

4. Ruang lingkup
Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen‑komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi ilmu
meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai­mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua­lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke­yakinan kita masing‑masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Epistemologi ilmu
meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model‑model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai­mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seped teori ko­herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.
Akslologi llmu
meliputi nilal‑nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke­nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasansimbolik atau pun fisik‑material. Lebih dari itu nilai‑nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi ke­budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman­faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.


Sumber : http://manusiapinggiran.blogspot.co.id



Senin, 19 Februari 2018

Indahnya Angkasa Raya Dilihat dari Bosscha



Observatorium Bosscha memang tempat paling ideal untuk melihat benda langit. Tak terkecuali, pengamatan tiga fenomena Bulan yang terjadi pada 31 Januari 2018. Supermoon, Blood moon, dan Blue moon yang terakhir terpantau 152 tahun silam, adalah fenomena menakjubkan yang sungguh sayang untuk dilewatkan.
Rabu, menjelang pukul 18.48 WIB, bayangan bulan kian nampak. Namun, langit yang mendung membuat proses pengamatan terganggu.
Perhitungan Peneliti Observatorium Bosscha Zainudin M. Arifin pun meleset. Seharusnya, umbra Bumi atau bayangan Bumi dapat terlihat sekitar pukul 19.50 WIB. Lagi-lagi, karena faktor cuaca, Bulan kembali tertutup awan kelabu.
“Padahal kami sudah siaga dari jam 19.52 sampai 21.08 WIB, menanti puncaknya Bulan terlihat kemerahan. Harapnya, antara jeda waktu tersebut, bisa digunakan untuk penelitian,” jelas Arifin.
Dia mengatakan, gerhana ini menarik karena ada tiga fenomena dalam satu waktu, yaitu Supermoon, Blood moon, dan Blue moon. Keunikan fenomena bulan super dan bulan merah adalah Bulan akan terilhat 14% lebih besar yang kemudian akan terlihat merah saat gerhana Bulan total berlangsung.
“Sedangkan Blue moon, jangan dibayangkan Bulan berwarna biru. Itu hanya istilah, dalam satu bulan masehi terjadi dua kali purnama. Nah, di Januari ini, kita sudah dua kali gerhana, 1 Januari dan 31 Januari. Makanya, disebutnya Blue moon purnama kedua dalam satu bulan,” paparnya.
Perlu diketahui, fase ketiga fenomena tersebut di dunia rata-rata terjadi sekitar 192 tahun sekali. Bagi masyarakat yang beruntung menyaksikan tiga fenomena bulan tersebut merupakan kesempatan langka.
“Berdasarkan kacamata penelitian, fenomena ini berkaitan dengan pengamatan atmosfer Bumi. Fenomena Bulan merah itu karena pendaran cahayanya dari atmosfer Bumi. Selain itu polusi yang ada di atmosfer juga bisa diukur. Sebetulnya, macam-macam penelitian terhadap fenomena gerhana,” ujarnya.
Tetapi yang kami tunggu sebetulnya adalah gerhana Bulan total. “Diprediksi, mungkin 28 Juni 2018 nanti. Sambil menunggu datangnya waktu itu, kami terus melakukan pengamatan antariksa setiap hari di Bosscha,” lanjut Arifin sembari mengintai langit menggunakan teleskop..
Siapa Bosscha?
Observatorium Bosscha atau Bosscha Sterrenwacht dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda, mulai 1923 hingga 1828. Observatorium yang berlokasi di atas bukit Lembang dengan ketinggian 1.300 m dpl ini, merupakan observatorium tertua Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Kepala Staf Informasi Bosscha Denny Mandey, kepada Mongabay Indonesia menuturkan secara gamblang pusat riset ruang angkasa ini. Dia mengatakan, observatorium seluas 8 hektar tersebut dibangun sebagian besar oleh kalangan swasta yang tergabung dalam NISV dan sedikit bantuan pemerintah Hindia Belanda.
Adalah Dr. J. Voute, astronom kebangsaan Belanda kelahiran Madiun yang sempat bekerja di African Astronomical Observatories Afrika Selatan, yang mengawali ide brilian ini. Dia berkeinginan membangun observatorium di Hindia Belanda (Jawa), waktu itu.
Voute bertemu Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar yang sukses. Bosscha juga dikenal sebagai orang dermawan yang memiliki perhatian lebih terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar beserta pendidikan. Gagas Voute disambutnya antusias.
Bosscha menjadi perintis sekaligus penyandang dana pembangunan observatorium. Pada 1921, Bosscha dan kolega mulai mengusahakan pembelian Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg. Kedua teropong bintang tersebut merupakan teknologi canggih dengan harga yang sangat mahal, di periode itu.
Teropong Ganda Zeiss merupakan teleskop terbesar dan tertua di Bosscha, usianya hampir 90 tahun. Teleskop ini sebenarnya terdiri 3 teleskop yaitu 2 teleskop utama dan 1 teleskop pencari (finder). Diameter lensa teleskop utama sekitar 60 cm dengan panjang fokus hampir 11 meter, sementara lensa teleskop pencari berdiameter 40 cm. Teleskop sakti ini bisa mengamati bintang yang ukurannya cahayanya tujuh ribu kali lebih lemah dari pandangan mata kita.
Sementara Teleskop Bamberg, diameter lensanya sepanjang 37 cm dengan panjang fokus 7 meter. Teleskop ini difungsikan untuk pengamatan kurva cahaya bintang-bintang variabel, serta fotometri gerhana bintang. Sebut saja, pengamatan kurva cahaya bintang ganda delta-Capricorni, selain tentunya digunakan untuk melihat matahari dan permukaan bulan. Saat ini, Bamberg lebih banyak digunakan untuk melayani kunjungan publik di malam tertentu. Penelitian yang dulunya dilakukan teleskop ini, kini telah diambil alih oleh teleskop yang lebih moderen.
Bangunan Koepel nan gagah, dirancang oleh arsitek Bandung ternama C.P. Wolff Schoemacher. Dia juga merupakan guru Presiden Soekarno di Technische Hoogeschool te Bandoeng atau Institut Teknologi Bandung.
“Meski Lembang kawasan rawan gempa namun dalam menuntukan lokasi pendirian observatorium ini merujuk peta geologi. Bosscha berada persis di tepi patahan Lembang. Bukit ini terdiri batu cadas yang dilapisi tanah, jadi cenderung lebih stabil,” kata Denny.
Menurut Her Suganda, dalam Wisata Paris van Java (2014), selama memimpin perusahan teh, Bosscha juga telah mendirikan sekolah dasar Vervoolgschool(SD Malabar) sebagai perhatiannya terhadap anak-anak petani di perkebunanya. Penyokong dana untuk pembangunan kampus ITB dan pendiri observatorium ini namanya diabadikan sebagai Observatorium Bosscha.
Nama KAR Bosscha memang dikenal di kalang masyarakat. Dikutip dari Maria-online.com, KAR Bossca fasih berbahasa Sunda dan sosoknya begitu bersahaja. Bosscha tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang didirikannya. Karena, pada 26 November 1928, dia meninggal beberapa saat setelah dianugerahi penghargaan sebagai Warga Utama Kota Bandung dalam upacara kebesaran yang dilakukan Gemente di Kota Bandung, Jawa Barat.
Penelitian
Pada 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada Pemerintah Indonesia. Setelah ITB berdiri tahun 1959, Observatorium Bosscha menjadi bagian dari ITB, tepatnya di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Di Bosscha, penelitian, pendidikan formal, dan pengembangan Ilmu Astronomi digiatkan.
Denny menjelaskan, pengamatan benda langit di Observatorium Bosscha tergantung tujuan penelitian sang astronom dan kemampuan alat yang ada. Pengamatan dapat berupa lintasan orbit bintang ganda visual, pengamatan perubahan cahaya bintang variabel, pengamatan asteroid yang melintas dekat bumi, dan yang terbaru adalah pengamatan planet di luar tata surya.
“Pengamatan bintang ganda visual merupakan penelitian yang sudah dilakukan sejak Observatorium Bosscha berdiri. Bentuk lintasan orbit kedua bintang dari hasil pengamatan nantinya akan dibandingkan dengan hasil perhitungan teoritis. Pada akhirnya, kombinas ini akan sangat membantu dalam memperkirakan nilai massa suatu bintang. Patut diketahui, program penelitian di Observatorium Bosscha tidak terbuka untuk masyarakat,” ucapnya.
Hingga sembilan dekade, Bosscha telah menerbitkan berbagai jurnal ilmiah tentang astronomi dari sejumlah pengamatan. Namun begitu, Bosscha juga mengalami ketertinggalan dari pesatnya perkembangan teknologi.
Teknologi teleskop saat ini sudah sangat maju. Astronom di mancanegara telah dilengkapi teleskop berdiameter 20 kali lebih besar dibandingkan Teleskop Zeiss. Didukung teknologi satelit, mereka mampu mengamati objek-objek yang tidak mungkin diamati oleh teleskop yang ada di Bosscha.
“Dalam hal teknologi Bosscha tidak menampik tertinggal dari negara lain. Teropong besar yang ada masih menggunakan generasi lama 1920-an. Untuk upgrade alat dilakukan semampunya mengingat dibutuhkan dana yang besar. Meski begitu, kami masih cukup produktif dalam hal pengamatan,” imbuhnya.
Sementara, terkait gangguan pengamatan luar angkasa, polusi cahaya akibat pembangunan permukiman dan objek wisata yang menjamur di Lembang dan kawasan Bandung Utara, sangat berdampak.
“Penelitian atau kegiatan peneropongan membutuhkan langit gelap. Terangnya lingkungan sekitar akan membuat langit ikut menjadi terang, sehingga cahaya beberapa bintang yang dulu masih bisa diamati, sekarang menjadi sulit karena cahaya langit latar yang semakin terang. Artinya, bukan berarti teropong tidak bisa bekerja tetapi target pengamatan menjadi terbatas dan faktor kesalahan meningkat. Semoga, ada perhatian khusus dari pemerintah untuk menata kembali peruntukan ruang dan penggunaan cahaya lampu di sekitar Bosscha,” terang Denny.
Observatorium Bosscha sejatinya telah dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah pada 2004. Aturannya, UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Tahun 2008, Bosscha pun ditetapkan Pemerintah sebagai Objek Vital Nasional yang harus diamankan.
Ketegasan pemerintah sangat dinantikan untuk melindungi pusat penelitian antariksa ini dari segala gangguan. Sebagaimana yang diingatkan Denny, “Pergaulan antarnegara sekarang dan masa depan, salah satunya akan dilandasi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi antariksa.” Akankah Indonesia?
Sumber : http://www.mongabay.co.id